Siang itu, panti asuhan yang berada di pinggiran kota, mengeluarkan isak tangis penghuninya. Meski penembak itu hanya dua orang, yang mengeluarkan tembakan sambil membawa lari sekantong perhiasan yang telah dikumpulkannya dari rumah-rumah yang ada di sekitar panti, namun hal tersebut telah menjadikan beberapa anak panti terluka, bahkan yang paling parah, telah membuat seorang anak perempuan mengalami pendarahan hebat karena terkena tembakan. Melihat keadaan anak perempuan tersebut, seorang perawat yang telah tiba dari rumah sakit menganjurkan untuk segera melakukan transfusi darah.
Perawat dan seorang
dokter yang datang dari rumah sakit tersebut adalah orang yang berasal dari
pusat kota dan dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang mapan, namun
tidak mengerti sedikit pun tentang bahasa yang digunakan oleh orang-orang panti
tersebut, bahasa Dayak. Semua penghuni panti asuhan tersebut, baik anak-anak
maupun pengurus panti merupakan orang Dayak asli yang tidak memahami bahasa lain.
Seharusnya ada kepala pengurus yang fasih berbahasa Indonesia, tapi dia sedang
keluar kota.
Perbedaan komunikasi
tersebut mengakibatkan permasalahan tersendiri. Dokter tak memiliki stok darah
yang bisa di transfusikan pada anak perempuan korban tembak tersebut. Namun
waktu yang diperlukan untuk menunggu pendonor baru dari kota sangat tidak
memungkinkan.
Salah seorang perawat
yang ikut ternyata bisa berbahasa Dayak meskipun sedikit. Kemampuan yang
sedikit itu diperolehnya ketika SMA, saat berteman dengan orang yang bisa
berbahasa Dayak. Akhirnya dengan peralatan yang dibawa dari rumah sakit, bahasa
Dayak yang tidak lancar dan ditambah bahasa isyarat, dokter meminta pada
perawat tersebut untuk memeriksa kecocokan darah si anak perempuan dengan
anak lain yang ada di panti.
Setelah tes dilakukan,
didapat delapan orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan anak perempuan
yang terluka tadi. Perawat itu kemudian menanyakan pada anak-anak yang memiliki
kecocokan darah, siapa yang mau menyumbangkan darahnya untuk anak perempuan
tadi sehingga anak perempuan tersebut tidak meninggal.
Pertanyaan itu dijawab
dengan diam oleh ketujuh anak tersebut. Namun, dengan ragu-ragu seorang anak
laki-laki dengan perlahan mengangkat tangannya, menurunkan lagi lalu
mengangkatnya lagi.
Dengan wajah berbinar,
perawat itu membawa anak laki-laki yang mengangkat tangannya kepada dokter yang
sudah menunggu dengan siap untuk mengambil darah anak yang mau untuk
ditransfusikan. Anak laki-laki tadi lalu dibaringkan, lengannya diusap alkohol
dan sebuah suntikan menancap dilengannya sambil menyedot darahnya sedikit-demi
sedikit.
Setelah selesai
pendonoran, anak laki-laki tadi tiba-tiba menangis dengan tangisan yang
memilukan. Sang dokter kebingungan menghadapinya, dengan bahasa yang
diketahuinya, dan tidak diketahui anak tersebut, dokter bertanya,”Kenapa
menangis?”
Namun tangisan anak ini
semakin menjadi dan dengan tangannya anak ini berusaha menutup mulutnya agar
tangisannya tidak semakin meluap. Mendengar tangisan anak tersebut, perawat
yang mengantarkannya tadi datang mencari tahu. Dokter lalu menyuruh perawat
tadi untuk menenangkan anak lelaki itu dan menanyakan perihal tangisannya. Meski dengan bahasa yang
sedikit dikuasai, perawat itu bertanya.
“Apa suntikan tadi
membuatmu sakit?”, anak itu hanya menggeleng.
“Apa dokter yang menyuntikmu
telah menyakitimu?”, anak itu kembali menggeleng. Dengan ramah dan sabar
perawat tersebut menenangkan anak itu. Tak lama sesudahnya, anak laki-laki itu
sudah berhenti menangis.
Dokter yang menyuntiknya
tadi menanyakan perihal tangisannya pada si perawat. Perawat itu menjelaskan
bahwa anak itu hanya salah sangka, dia mengira dia akan meninggal setelah
darahnya diambil dan diberikan pada anak perempuan tadi.
“Lalu kenapa anak
laki-laki itu masih mau memberikan darahnya?”, tanya dokter.
“Kata anak itu, anak
perempuan tadi adalah sahabatnya”, jelas sang perawat.
0 Comments:
--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~