“Bilang donk kak siapa orangnya!”,
pinta Mira pada kakaknya.
“Nggak mau, ntar kalo bukan dia jodoh
kakak gimana? Kakak kan bisa malu ama kamu, Mir.”
Keduanya terlihat sangat
akrab ketika membicarakan lelaki idola, ah bukan, tepatnya lelaki yang menjadi
idaman kakaknya, Fuzi. Akhir-akhir ini Fuzi memang terlihat berbeda. Senyum
yang selalu terukir di wajahnya, meski tak ada hal yang membuatnya tersenyum di
hadapannya, memang terlihat aneh. Fuzi sering terlihat senyum-senyum sendiri di
kamarnya dan hal itu terbaca jelas oleh adiknya.
Dengan agak memaksa yang sambil merengek
ala perempuan, adiknya berhasil mempengaruhi Fuzi untuk menceritakan hal yang
membuatnya tersenyum.
“Kakak ditembak seorang cowok ya?”,
tanya Mira. Fuzi hanya tersenyum.
“Tuh kan, pasti bener. Senyuman kakak tuh dah ngejawab semuanya. Pasti kakak di tembak cowok nih. Tampan ga kak? Baik ga Kak? Bilang donk kak siapa orangnya!”.
“Ih, sok tau... Mending kamu urusin dulu tuh skripsi kamu. Entar malah keteteran lagi.”
“Bilang dulu siapa orangnya! Kok bisa ngebuat kakak yang selama ini anti terpesona ama cowok menjadi senyum-senytum gini.”
“Yeeee... siapa juga yang anti ama cowok.”
“Ga sadar lagi tuh. Buktinya, selama ini, kakak ga pernah pacaran kan. Ampe dah sarjana begini, kakak juga ga pernah terlihat jalan duaan ama cowok, kecuali ama papa.”
“Itu bukan anti, tapi jaga diri. Biar pun kakak ga ngerti-ngerti amat ama larangan berpacaran, tapi sebagai perempuan pinter, kakak bisa mikir kali. Siapa juga yang mau jadi orang murahan, yang dengan mudah dibonceng-bonceng ke sana-sini, digandeng ke sana-sini,
“Bahkan dicium sana-sini, yang
kebanyakan abis itu ditinggal gitu aja dengan alasan apa namanya itu?
Selingkuh? Cemburu... iihhh... Kakak kan mahal dan suci yang hanya bisa
dibawa-bawa oleh orang-orang hebat dan terpilih doank. Weee...”
“Terus, kenapa sekarang kakak malah senyum-senyum sendiri gitu. Pasti tentang cowok kan. Apa kakak sekarang dah nurunin harga?”
“Ciah, ngeledekin nih anak. Bukan nurunin harga tau, tapi dia bisa nyaingin mahalnya kakak.”
“Maka dari itu kak, bilang donk siapa orangnya! Iihhh...”
“Iya-iya...dia temen eSeMPe kakak. Dia itu ....”
Fuzi lalu menceritakan lelaki yang selama dua hari terakhir ini telah membuat dirinya tersenyum. Lelaki tersebut tidak terlalu terlihat tampan. Tapi masih bisa dibilang tampan. Wajahnya tidak sedikit pun mencerminkan wajah korea, yang akhir-akhir ini menjadi idola kebanyakan wanita. Tidak ada tampang korea sedikit pun.
Sejak esempe mereka juga tidak terlihat dekat karena mereka berbeda kelas. Fuzi kelas B sedangkan lelaki ini kelas A. Mereka hanya saling kenal begitu saja. Sama seperti kenalnya dengan teman-teman sekolahnya yang lain. Perihal yang membuat Fuzi mengenal lelaki itu adalah lelaki yang baik yaitu ketika Fuzi sedang menuju ke sekolahnya.
Fuzi berangkat dari sekolahnya sekitar
pukul setengah tujuh pagi dan waktu bel masuk adalah jam tujuh pagi. Jarak
rumah Fuzi dengan sekolahnya terbilang cukup jauh, padahal sebelum berangkat,
Fuzi harus mengantarkan kue-kue buatan mamanya ke warung-warung untuk
dititipkan.
Ketika Fuzi dalam perjalanan ke sekolah, rantai sepeda Fuzi putus. Fuzi panik, padahal jarak sekolahnya masih cukup jauh. Dan, dari kejauhan, lelaki itu muncul dengan sepedanya.
“Kenapa sepedanya?”
“Rantainya lepas. Padahal aku lagi terburu-buru, jam pertama kan Fisika, tau kan? bapak Samsurizal itu killer banget, tak boleh terlambat sedikit pun.”
“Kalo gitu, sepedanya dititipin saja ama orang sini, aku kenal kok. Biar kamu aku bonceng saja.”
“Nggak mau, papa marah kalo aku dibonceng ama cowok. Aku jalan kaki saja dan sepedanya aku titipin.”
“Kamu kan terburu-buru, lagian papa
kamu ga akan tau kok.” “Memang, tapi itu namanya aku dah ga nurutin kata papa donk. Entar
aku malah durhaka lagi...”
“Yaaaahhh... kalo gitu, terserah kamu
saja lah.”
Setelah berkata seperti itu, lelaki
tersebut kemudian berlalu dengan sepedanya. Fuzi menitipkan sepedanya di rumah
penduduk terdekat dan melanjutkan perjlanan ke sekolahnya dengan berjalan kaki.
Setibanya di sekolah, Fuzi langsung menuju ke ruang guru dengan tujuan ingin
meminta surat izin masuk pada guru piket.
Namun, di depan pintu ruang guru
tersebut, Fuzi melihat lelaki, yang sebelumnya mengajak Fuzi berboncengan
dengannya, sedang berdiskusi dengan guru fisika, pak Samsurizal. Melihat itu
Fuzi langsung berucap syukur karena guru fisika itu belum masuk kelas.
“Fuzi... bilang temen sekelasmu, bentar
lagi bapak masuk. Coba kerjakan dulu soal yang halaman 175. Bapak sedang
berdiskusi mengenai olimpiade sains nanti.” Kata pak samsurizal yang melihat
Fuzi berdiri di dekat pintu.
“Iya pak....”
Sambil berjalan menuju kelasnya, Fuzi
berfikir, apa mungkin lelaki itu sengaja mengulur waktu masuk pak Samsurizal
agar dirinya tidak terlambat masuk. Tapi siapa yang tau, itu hanya dugaannya
saja. Yang jelas, pagi itu Fuzi tersenyum penuh syukur.
“Jadi lelaki itu ngulur waktu buat
kakak?”
“Mungkin... hmmm...”
“Tapi masa Cuma itu saja...”
Tidak, bukan hanya itu dua hari yang
lalu, Fuzi bertemu lagi dengan lelaki itu setelah lima tahun tidak bertemu
karena tempat kuliah mereka yang berbeda. Pertemuan itu terjadi di RS Pranata
saat Fuzi sedang memeriksa seorang pasien yang ternyata teman kerjanya lelaki
tersebut.
“Adnan kan?”, tanya Fuzi setelah semua
pekerjaannya selesai.
“Iya, masa lupa. Bukan karena aku makin
tampan kan? Hehehe...”
“Iihh, PeDe-nya ga berubah sejak esema,
padahal waktu esempe pendiem banget.”
“Zaman sekarang, ga PD ga hidup
katanya. Hehehe... Eh, jadi dokter ya sekarang? Tapi itu sudah aku duga
sebelumnya, kamu memang ccocok jadi dokter. Dulu ketika tanganku tetancap
staples, kamu langsung sigap, layaknya tim medis.”
“Tertusuk staples? Kapan ya?”
Fuzi mengingat-ngingat masa-masa dia
esema. Mencoba mencari kejadian saat tangan jari Adnan tertusuk staples. Dan,
Fuzi mengingat saat itu. Saat dimana Adnan dan Fuji harus mengumpulkan laporan
praktikium kelompok kimianya.
Saat Adnan akan menjilid laporan
praktikum kelompoknya, tanpa sengaja jarinya terstaples. Melihat itu, Fuzi
secara reflek memberikan hansaplast yang ada di tasnya dan membalutkannya ke
jari Adnan yang luka.
“Walau lukanya kecil tapi jika tidak
dirawat dapat menjadi masalah besar nantinya.”
Begitulah perkataan Fuzi saat itu
sambil membalutkan hansaplast ke jari Adnan yang terluka.
“Ooohhh... yang itu ya…?”
“Bukan yang itu, tapi yang ini” ucap
Adnan sambil mengeluarkan bungkusan rapi, kecil, tipis dan rata dari dompetnya.
Sambil membuka dan menunjukkan isi bungkusan tersebut, Adnan melemparkan senyum
ke arah Fuzi.
“Itu? Jangan katakan itu bekas
hansaplast yang waktu itu.”
“Hehehe... Kalo aku ga bilang begitu,
itu namanya aku bo’ong.”
“Kenapa masih di sempen? Emang ada
gunanya? Disebut sampah daur ulang pun udah ga cocok.”
“Berguna, dong, buat ngingetin kamu
saja jika lupa sama aku. Dan untuk ngingetin aku jika aku akan lupa ama kamu.
Karena hanya hansaplasst ini yang kamu berikan dengan sepenuh hati buat aku.
Dan kau tau, selama beberapa bulan ini, sejak aku lulus kuliah, aku nyari-nyari
kamu.”
“Nyari aku?”
“Iya...untuk nge....”
“Fuziiiii... Ada teman kamu diluar, dia
lagi bicara sama bapak,” kata ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar Fuzi.
“Siapa, Bu?”
“Katanya namanya Adnan. Seorang
arsitek. Ibu dengar sepintas, katanya dia mengajak bapak untuk membangun
rumah.”
Dalam hati Fuzi bergumam, “Ternyata dia
serius mau membangun rumah. Rumah tangga...”
0 Comments:
--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~