#Cerita masyarakat di Madura (cover version dari "Rindu Rosul", karangan Jalaluddin Rakhmat, penerbit Rosda Bandung, hal 31-33. cetakan pertama September 2001)
“Huh...huh...huh...huh...huh...”
Nafasku
terengah-engah di bawah terik matahari. Akhir-akhir ini cuaca di desaku ini
memang terasa semakin panas. Tak hanya karena desaku terletak di bawah garis
khatulistiwa, melainkan ada hal lain yang memengaruhinya, kata guru geografi
itu dikarenakan pemanasan global.
Dia menerangkan bahwa pemanasan global terjadi karena banyaknya karbon dioksida yang terkumpul di atmosfer dan memicu panas matahari. Di media-media saat ini pun sering digempar-gemporkan mengenai pemanasan global, namun hanya sedikit yang mau menindaklanjutinya.
Dia menerangkan bahwa pemanasan global terjadi karena banyaknya karbon dioksida yang terkumpul di atmosfer dan memicu panas matahari. Di media-media saat ini pun sering digempar-gemporkan mengenai pemanasan global, namun hanya sedikit yang mau menindaklanjutinya.
Tidak seperti hari biasanya, hari ini
pulang sekolah agak sedikit telat karena ada rapat OSIS. Sesudah rapat aku
langsung pulang jalan kaki ke rumah. Jalan kaki memang menjadi rutinitas karena
di rumah aku tidak memiliki kendaran untuk dinaiki meskipun itu hanya sebuah
sepeda. Ketika dalam perjalanan pulang, ternyata azan ashar telah berkumandang
dan aku memilih singgah di masjid Nurul Huda terlebih dulu untuk menunaikan
kewajiban.
Saat sampai di teras masjid, aku langsung
melepas sepatu dan kaus kaki lalu melipat celana panjang hampir ke lutut.
Kemudian aku menuju tempat berwudhu. Terasa segar di wajah ketika ku basuhkan
air kran yang sejuk ke muka. Aku menikmati kesegaran itu sesaat, kemudian aku
menyelesaikan wudhu lalu masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan salat.
Selesai salat aku perhatikan sekeliling,
ada sekitar 20 orang dalam masjid ini terdiri dari berbagai usia. Masjid Nurul
Huda ini merupakan masjid yang cukup besar, terdapat mimbar di samping kanan
imam. Mimbar tersebut bertuliskan huruf arab dengan khat tertentu yang aku tidak
tahu namanya. Langit-langit masjid ini berupa lengkungan parabola yang
mengikuti bentuk kubah masjid dan berlukiskan langit biru dengan awan-awannya
yang putih. Dinding masjid ini berwarna putih dengan garis hijau terang
horisontal.
Sesudah berdoa aku langsung mengambil tas
dan langsung duduk di teras masjid sambil memasang kembali sepatuku. Terdengar
siulan burung-burung dari pohon-pohon yang ada di halaman masjid. Aku baru
sadar, ternyata masjid ini memiliki pohon yang cukup beragam. Ada pohon mangga,
pohon ketapang, pohon jambu biji dan pohon jambu air.
Burung-burung itu masih bersaut-sautan di
dahan pohon ketika aku mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan masjid, namun
langkahku terhenti ketika aku melihat seorang perempuan tua yang memunguti
daun-daun yang jatuh karena sudah kering. Perempuan tua itu memunguti daun itu
satu persatu dengan pelan, sabar dan telaten seolah dia sedang menikmati
minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan.
“Pak, nenek itu siapa?”, tanyaku pada Pak
Deri yang tadi menjadi imam salat asar yang juga hendak pulang.
“O, nenek yang memunguti daun itu. Dia
nenek yang rajin dan selalu bekerja keras, lihatlah, bahkan dengan tubuh yang
setua itu dia masih terlihat riang memunguti daun-daun kering yang bertebaran
di halaman masjid ini.”, terang pak Deri.
“Kenapa dia yang memunguti daun-daun itu?
Apa tak ada pengurus masjid yang bertugas membersihkan halaman masjid?”,
tanyaku.
“Sebenarnya sudah sering kami meminta
kepada nenek itu agar dia tidak memunguti daun-daun itu lagi, namun dengan nada
agak marah dia mengatakan bahwa kami mau merampas kesenangan dia. Kami juga
pernah memberikan nenek itu penyapu ijuk agar mempermudahnya, namun dia tidak
pernah memakainya. Pernah suatu hari kami membersihkan tempat ini sebelum nenek
itu datang, ketika melihat halaman masjid yang sudah bersih tanpa campur
tangannya, nenek itu menunduk lalu menangis.”, cerita pak Deri dengan wajah
haru.
“Menangis? Memangnya kenapa?”, tanyaku
memburu dengan rasa penasaran.
“Seperti yang saya bilang tadi, dia merasa
kami telah mengambil kesenangannya.”
“Kesenangan? Maksudnya pak?”
“Di tengah kesedihannya sambil mengusap
air matanya, saya bertanya hal yang sama pada nenek itu. Namun saya tidak dapat
menceritakan apa alasan nenek itu pada kamu karena ini merupakan janji saya
pada nenek itu.” Jelas pak Deri.
“Janji?”
“Iya, dan kamu tak usah tanya-tanya
tentang hal ini lagi, karena suatu hari nanti kamu pun pasti akan
mengetahuinya. Sudah sana pulang dulu, ntar ada yang khawatir di rumah,
pakaianmu saja masih seragam sekolah.” Tutur pak Deri sambil melangkah pergi
meninggalkan aku yang masih terpaku menatap perempuan tua yang memunguti daun
itu.
*********
Malam hari menjelang tidur, aku masih
belum bisa memejamkan mata. Pikiranku masih tertuju pada perempuan tua yang
memunguti daun di halaman masjid Nurul Huda yang kutemui tadi siang. Seolah aku
akan menghadapi ulangan harian di esok hari, aku memfokuskan pikiran pada
perkataan pak Deri mengenai merebut kesenangan perempuan tua pemungut daun itu.
Memangnya kesenangan apa yang dimaksud nenek itu. Apakah memunguti daun itu
bisa menimbulkan kesenangan? Padahal teman-temanku saja banyak yang menolak
ketika diajak memunguti daun kering di halaman sekolah.
Semakin aku memikirkan nenek itu, semakin
aku tidak mengerti. Mataku pun semakin berat, aku pandangi jam di dinding kamar,
ternyata telah menunjukkan angka dua. Waktu terasa sangat cepat ketika kita
belum memperoleh jawaban yang kita cari. Aku bangkit dari tempat tidur dan
langsung menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Memang telah menjadi kebiasaanku untuk
mendirikan salat tahajud meskipun hanya empat rakaat. Kebiasaan ini aku
dapatkan atas saran dari seniorku yang merupakan mantan ketua ROHIS di sekolah.
Dia pernah berpesan padaku bahwa salat tahajud dapat menciptakan ketenangan
batin bagi yang melaksanakan.
“Salat tahajud itu dapat membuat batin
jadi tenang.”, kata seniorku sambil memasang sepatunya di teras musalla
sekolah, sedang aku berada di samping kirinya.
“Kok bisa? Kenapa harus tahajud yang merupakan
salat sunnah yang bikin tenang, kenapa bukan salat wajib?”, tanyaku.
“Salat wajib juga bisa memberikan
ketenangan, ketenangan yang di dapat dari salat wajib yaitu ketenangan karena
telah menunaikan apa yang telah menjadi tanggungan kita. Namun salat sunnah,
khususnya salat tahajud dapat memberikan ketenangan batin karena salat ini
bukan merupakan tanggungan kita melainkan karena cinta kita kepada Allah Yang
Esa. Coba kamu pikirkan, salat tahajud itu dilaksanakan ketika malam hari,
ketika banyak makhluk yang lalai, ketika udara bersih mengalir, ketika embun
mulai terbentuk, dan ketika pendengaran dalam keadaan tenang dari bisingnya
dunia. Saat orang melaksanakan salat tahajud, Allah dengan senang hati
mendengarkan keluh-kesah dan semua doa-doanya. Bahkan setiap doanya diamini
oleh ribuan malaikat. Hati pun menjadi tenang dan bahagia karena limpahan nur
hidayah. Kamu tahu kan, nur hidayah itu akan sangat mudah memasuki hati yang
tenang. Dan dengan hanya melaksanakan salat tahajud itu kita akan memperoleh
kenikmatan dan kesenangan tersendiri.”, terang seniorku.
“Insyaallah, saya akan mencoba membiasakan
diri untuk melaksanakan salat tahajud. Mohon doanya.”, kataku dengan sedikit
semangat di hati yang mulai berkobar.
“Amin. Laksanakanlah, awalnya memang berat
tapi nanti juga akan jadi kebutuhan. Dirikanlah walaupun cuma empat rakaat.
Karena pada saat itu semua doamu didengar oleh Allah dan diamini ribuan
malaikat.” Kata seniorku dengan senyuman indah di wajahnya dan sambil
menepukkan tangannya di pundakku beberapa kali.
Teringat pesan seniorku, sesudah
melaksanakan salat tahajud aku memohon kepada Yang Kuasa agar aku bisa
mengetahui kesenangan yang dimaksud oleh perempuan tua yang memungut daun di
halaman masjid. Doa tersebut aku ucapkan berkali-kali hingga tanpa sadar aku
tertidur.
*********
Aku bangun pukul lima lewat tujuh belas
menit dan langsung memperbarui wudhuku untuk melaksanakan salat subuh. Dalam
doaku di waktu subuh ini, aku pun tetap
berdoa agar aku bisa mengetahui kesenangan yang dimaksud perempuan tua pemungut
daun di masjid itu.
*********
“Teng...Teng...Teng...”
Lonceng tanda pelajaran sekolah telah
berakhir berbunyi dengan keras disambut teriakan senang segenap siswa di
kelasku. Melihat mereka senang, aku berkesimpulan, ternyata kesenangan orang
memang berbeda-beda dan memiliki keunikan sendiri, seperti teman-teman kelasku
yang memiliki kesenangan dengan lonceng yang berbunyi. Entah itu lonceng
istirahat maupun lonceng pulang. Juga kesenangan perempuan tua yang memunguti
daun di masjid itu yang sampai saat ini aku masih belum tahu alasan
kesenangannya.
“Dam...”, teriak seorang temanku dari
belakang yang ketika aku menoleh aku mengenalnya dengan nama Radit.
“Iya, ada apa?”, tanyaku.
“Tadi pagi di masjid Nurul Huda yang meninggal
lo.”, jelasnya.
“Siapa?”, buruku.
“Seorang nenek. Aku pun tak tahu siapa.”
“Seorang nenek. Apa jangan-jangan....O ya
Dit, aku duluan ya, aku ada perlu.”, kataku sambil mempercepat langkah
meninggalkan Radit.
Di sepanjang perjalanan, pikiranku terus
tertuju pada apa yang dikatakan Radit, apa benar perempuan tua yang memungut
daun itu yang meninggal. Sambil memikirkan hal itu aku terus mempercepat
langkahku. Tentu saja tujuanku adalah masjid Nurul Huda.
Ketika telah memasuki halaman masjid, aku melihat
halaman masjid ini masih berserakan daun-daun kering. Tak jauh di depan, aku
melihat pak Deri tengah duduk di beranda masjid. Aku langsung menghampiri
beliau.
“Assalamu’alaikum pak.”, ucapku.
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah.”,
jawabnya.
“Pak, apa benar tadi pagi ada meninggal di
sini?”, tanyaku.
“Iya, nenek yang memungut daun yang kamu
tanyakan kemarin itu, tadi subuh ditemukan meninggal di halaman masjid. Kami
tidak tahu apa penyebabnya, mungkin memang telah jadi ketentuan Allah.”,
terangnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”,
lirihku.
“O ya, berhubung kamu kemarin
mempertanyakan tentang alasan kenapa nenek itu senang memungut daun, sekalian
saja saya tunaikan atau tepati janji saya pada nenek itu. Karena saya juga
tidak mau menyimpan rahasia ini terlalu lama, karena akan menjadi pelajaran
bagi kita semua.”, jelas pak Deri.
“Menunaikan janji?”,
“Begini, saat saya mendatangi nenek itu
dulu dan menanyakan perihal mengganggu kesenangannya, nenek itu meminta bapak
agar berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain kecuali nenek itu
meninggal dunia. Makanya kemarin bapak tidak mau menceritakannya padamu karena
takut melanggar janji.”, kata pak Deri.
“Iya pak, memangnya kenapa nenek itu bisa
merasa senang ketika memungut daun? Saya sampai susah tidur memikirkannya.”, kataku.
“Baguslah, berarti kamu termasuk orang
yang peduli. Ketika bapak menanyakan hal itu, nenek itu menjawab.....
“Saya ini perempuan bodoh. Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya Ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepada Kanjeng Nabi.”
.....Ketika mendengarnya bapak ikut menangis, begitu besar rasa cintanya pada Rasulullah.”, cerita pak Deri sambil mengusap air matanya yang mulai berjatuhan, yang diikuti air mataku yang juga mulai berjatuhan.
*******
Dalam doaku di tahajud malam ini, hatiku
seolah bergetar, penuh sesal, doaku yang menggebu karena ketidaktahuan harus
terkabul dengan perginya perempuan tua pemungut daun ke alam lain. Dalam hati
aku berikrar, aku akan membagikan kisah ini kepada banyak orang, agar semua
orang bisa memahami. Bahwa dengan cinta yang besar, hal yang sangat kecil pun
akan memberikan arti. Aku ingin menuliskan kisah ini, di semua media, agar
semua orang bisa dengan mudah mengetahui. Aku bertekad untuk menulis, dan
memulai tulisanku dengan membaca salawat Nabi, karena aku ingin, ketika di
akhirat nanti, aku dijemput oleh Baginda Nabi dan tulisan-tulisanku menjadi
saksi bahwa aku membaca salawat sepenuh hati.
Ya Nabi salam ‘alaika......
0 Comments:
--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~