Assalamu’alaikum...
Beberapa minggu ini topik tentang dunia pendidikan semakin meroket. Anehnya, informasi yang diberikan dan disebarkan semuanya tentang kebobrokan dunia pendidikan kita. Tidak ada yang menyebarkan tentang kebaikan yang telah dicapai. Terlebih lagi tentang ujian nasional. Masa ampun, berita penolakannya sampe seantero dunia maya dan nyata. Ada juga yang menolak menerima banyak pelajaran, karena tidak sesuai dengan passion anak didik. Mereka bilangnya, bagaimana mungkin gajah dan ikan disuruh memanjat pohon. Itu mustahil.
Oke, karena ikut merayakan hari pendidikan, saya juga akan ikutan membahas dunia pendidikan, dengan pikiran howhaw tentunya. Tapi sebelumnya, kenapa ya hari pendidikan itu tanggal 2 Mei? Kenapa ga disamain dengan hari buruh saja yang 1 Mei, ya biar buruhnya terdidik gitu.
Tentang Passion
“Ujian itu harusnya tidak disamaratakan, mereka punya passionnya sendiri”
Jadi mereka mau belajar pelajaran yang hanya disukai. Pffttt. Seolah mereka sudah mengetahui apa yang akan menghampiri mereka. Berdasarkan pengalaman yang ada, banyak orang yang mendalami passionnya sejak dini, tapi di kemudian hari malah berhasil di bidang yang lain. Itu karena mereka senantiasa mempelajari hal baru. Ga melulu tentang yang disukainya saja. Passion memang penting untuk memotivasi diri tapi tidak dengan diiringi membenci pelajaran lain. Semua itu perlu.
“Ga perlu lah, buat apa juga belajar matematika ribet, ga dipake di keseharian kok, masa’ iya beli siomay pake ngitung deret quantum dulu?”
Maaf, orang yang bilang begitu, bukan karena ilmu matematika tinggi yang ga bisa dipake, tapi otaknya yang ga dipake. Kalo otaknya dipake, tentu dia akan menggunakan ilmunya sesuai keadaannya. Beli siomay mah pake hitungan sederhana juga beres. Otak kalo ga dipake, ilmu yang harusnya bermanfaat, malah jadi rongsokan. Betulin motor pake ilmu bikin bakwan. Ya nggak bisa. Kecuali kamu bayar montir pake kue bakwan. Itu pun kalo montirnya mau.
Bukan ilmunya yang ga dipake di keseharian, tapi kamunya yang ga bisa menerapkan dengan baik di keseharian. Inti dasar dari kebencian seseorang terhadap pelajaran adalah karena tidak bisa menguasai pelajaran tersebut. Tidak bisa => Benci. Coba jika mereka bisa, pasti bakalan suka. Karena ketidaksukaan mereka tersebut, mereka menuduh orang lain yang bisa menguasai banyak pelajaran dengan ‘bakat alam’, passion sejak lahir. Pffttt. Mereka ga tau apa, untuk menguasai banyak pelajaran tersebut, mereka belajar sedikit demi sedikit hingga akhirnya bisa dan suka. Tentang pentingnya mempelajari banyak ilmu, saya sudah pernah menuliskannya di sini.
Ingatlah, passion itu merupakan hal yang kita sukai, mendalaminya dengan banyak latihan, sedangkan pelajaran di sekolah itu adalah pengetahuan, mendalaminya dengan metode pendidikan. Makanya orang yang mendalami passion menjadi orang terlatih, dan orang yang mendalami pelajaran jadi orang terdidik. Hati-hatilah jika jadi orang yang hanya terlatih tapi tidak terdidik, karena akibatnya seperti di atas. Sering menyalahkan pendidikan dan membenci yang tidak disukainya, sok menjadi yang paling hebat, paling benar, paling jago dan paling dahsyat. *lalu lagu Sherina kecil mengalun*
Tentang Sistem Pendidikan dan UN
“Sistem pendidikan kita bobrok, nasib 3 tahun ditentukan hanya 3 hari.”
Jadi maunya, ujiannya juga dibuat tiga tahun? Atau mau sekolahnya hanya tiga hari? Oke. Sebenarnya kenapa sih kalian membenci UN tiga hari yang menguji pemahaman 3 tahun? Kenapa kalian ga membenci kelulusan? Kelulusan kan memisahkan kebersamaan pertemanan kalian selama tiga tahun hanya dalam waktu 1 hari. Kenapa? #iyakali
Saya ngerasa aneh dengan orang-orang di negeri ini. Mereka sering kali meributkan sesuatu yang baru direncanakan akan dilakukan. Mereka sibuk memperdebatkan sistem yang terus berubah, tanpa sempat mereka lakukan. Itu tuh sama kayak memperdebatkan mau makan apa hari ini, sedangkan anak-anak mereka sudah mati kelaparan.
Mereka suka sekali membandingkan ideologi negeri kita dengan ideologi negeri tetangga. Sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan mereka. “Sistem mereka bagus, cocok untuk pelajar,” katanya. Pffttt. Kalo mereka selalu percaya dengan istilah rumput tetangga terlihat lebih hijau, kenapa mereka malah tertarik dengan sistem pendidikan tetangga yang terlihat lebih hijau?
“UN ini salah, buktinya tak ada peningkatan signifikan dalam pendidikan kita”
Ayolah, mana ada siswa yang mau belajar kalo ga ada UN. Mungkin kalian nganggep ukapan saya hanya kepesimisan belaka. Tapi nyatanya, dengan kalian sok memberi data yang ga signifikan itu, kalianlah yang pesimis. Padahal itu hanya data, yang dikumpulkan juga ga semuanya. Yang nyata itu, mereka belajar hanya saat ada ujian dan ulangan, kecuali yang memang menggunakan otaknya. Itu nyata lho.
Jangan jadi sok humanis deh dengan peduli kemajuan pendidikan manusia kalo kenyataan yang dihadapi tidak pantas disebut manusia. Mencontek itu jelas perbuatan salah, tapi kalian memaklumi karena soalnya susah dikerjakan. Pfftttt. Kalian setuju dengan pencurian motor karena pagar parkiran yang susah dipanjat? Tukang parkirnya (para guru) mendukung lagi. Itu sih bukan sistemnya yang rusak, tapi kita yang tidak bisa melaksanakan sistem yang ada. Dengan sistem sederhana saja kita tidak bisa, sok berharap dengan sistem yang lebih rumit. Pfftttt.
“Itulah UN itu menimbulkan kecurangan, harus dihapus.”
Eh, kalo kuku kalian panjang dan bikin luka saat menggaruk pantat, yang kalian lakukan apa? Memotong jarinya? Pfftttt.
Aneh memang, mereka menyalahkan sistem pendidikan yang katanya menciptakan generasi anjrit, padahal mereka sendiri dibentuk dengan sistem yang sama. Oh, mungkin mereka ingin mengubah sistem agar tidak melahirkan orang-orang seperti mereka, yang hanya sibuk menelan mentah berita dan menyorakkan kekesalan dengan meniadakan pendidikan yang melahirkannya. Kalo mereka yang bersorak merasa pintar dan benar, sedangkan generasi sekarang salah, berarti kan bukan sistemnya yang gagal, tapi generasi sekarang yang tidak bisa melaksanakan sistem.
Tapi menyalahkan sistem memang lebih enak sih daripada menyalahkan diri karena gagal melaksanakan. Anjrit memang. Sudahlah, kita laksanakn sistem yang ada dengan BENAR. Kalo menanak nasi saja kita tidak bisa dan tidak pernah mencoba melakukannya tapi selalu mengeluhkannya, jangan harap deh kita bisa makan nasi goreng spesial yang karetnya dua. *eh, kalo UN dihapus, yang lulusnya dari jalur UN jadi ditarik kelulusannya ya?*
Yang kita perlukan hanya stabilitas. Jangan dengan mudahnya mengganti sistem tanpa pertimbangan yang matang. Jangan terlalu terburu-buru mengatakan sistem ini itu gagal dan langsung diganti, kita lihat perkembangan dan esensinya. Kayak sistem pendidikan yang saya tempuh waktu SMA, KBK. Itu bagus, mendidik dengan mempraktikkan ilmunya langsung di lapangan. Tapi hanya dalam waktu 1 tahun, sistem sudah berubah lagi. Yaelah, pohon durian juga belum berbuah pak kalo miaranya sesingkat itu.
Kalo kata temen saya yang anak manajemen, kegagalan itu disebabkan 2 hal: strategi dan pelaksanaan. Yang terjadi di negeri kita mah, gagal melaksanakan, tapi selalu meributkan strateginya. Pfffttt. Maunya digantiii mulu strateginya. Bahkan beramai-ramai menolak UN. Hati-hati saja ya, kalo dalam dunia perpacaran, mantan itu akan terlihat lebih cakep. Jangan nyesel aja kalo nanti UN terlihat lebih baik dari penggantinya. Soalnya dulu ada demo mahasiswa yang meminta skripsi diganti ujian lho.
UN juga ga begitu banyak punya salah, dia memang ditugaskan untuk mengukur sejauh mana peserta didik di seluruh Indonesia memperoleh ilmu. Kalo ada wilayah yang hasil UN-nya rendah, kan bisa dipantau lebih dekat dan diberikan fasilitas lebih agar mutunya meningkat. Masalahnya, standar UN itu yang seolah tak masuk akal, kalo memang untuk nasional, harusnya standarnya berdasarkan rata-rata keseluruhan, bukan hanya yang tertinggi. Itu sih membunuh yang belajar dipelosokan.
Buatlah standar yang rasional, bukan yang paling tinggi, tapi menengah. Karena kalo standarnya sangat tinggi, kita hanya akan menemukan kekurangan. Tapi lihatlah jika standarnya menengah, akan terlihat kelebihan-kelebihan di dalamnya. Tapi bukan berarti UN-nya yang salah, cuma diperbaiki lagi kurangnya di mana. Perbaiki lho ya, bukan dihapus. Apalagi main ganti-ganti aja sistem pendidikan. Telaah, tambah, yang tertinggal berikan hibah. Kan tujuannya agar merata dan pantas ke jenjang selanjutnya.
Tentang Filosofi Panjat Pohon
“Setiap orang berbeda, tidak bisa dinilai sama, mustahil mengajar gajah dan ikan memanjat pohon seperti monyet.”
Iya, kalo kata beberapa orang, itu nyebutnya merusak fitrah “nature”. Fitrahnya kan ikan berenang, gajah berjalan, musang melompat dan jungkir balik. *kok kayak nyanyiannya kera sakti sih* Setuju sih, kalo setiap anak itu memiliki keunikan natural dan tidak bisa dipaksakan. Tapi yang perlu diketahui, manusia itu memiliki banyak potensi. Menjuruskannya sejak dini (SD-SMP) itu melanggar asasi, kebebasan diri. Bahkan ada negara (Finlandia) yang mengilegalkannya, karena mengajarkan anak hanya satu bidang ilmu saja, sama dengan mengurungnya dari berbagai ilmu yang ada. Justru itu yang merusak fitrah. Fitrahnya mereka bisa mengembangkan dan menerima banyak pengetahuan, ilmu, tapi kok malah dijuruskan sejak kecil.
Kamu gajah, kerjaannya hanya ngangkut barang berat. Kamu monyet, kerjaannya hanya menyalahkan pemerintah. (eh?). Kamu, iya kamu. Kamu hanya kuli, kerjaan kamu hanya jadi tukang pikul. Kan nggak. Siapa pun mereka, mereka berhak mendapatkan ilmu, tapi tentunya dengan metode yang BENAR.
Kalo pendidikan kita dikatakan merusak fitrah karena tidak menyesuaikan passion anak, itu salah. Fitrahnya mungkin rusak, tapi itu karena pilihannya sendiri. Sistem pendidikan itu sudah dibuat sedemikian rupa. Waktu saya bertanya pada guru dan dosen saya, tugas seorang pengajar itu adalah menghasilkan output yang sama walaupun inputnya berbeda. Walaupun tidak sama persis, tapi standar kualifikasinya sama.
Singkatnya, kalian anak pejabat, ada juga anak sopir, ada juga anak pelacur, kalian sama-sama masuk SMK jurusan gambar bangunan. Ya, outputnya adalah menghasilkan ahli gambar dengan standarnya. Masa iya harus dibedakan berdasarkan latar belakang keluarganya. Lagian yang mendaftar ke jurusan itu kan mereka sendiri. Jadi kalo merasa merusak nature, ya itu kesalahan sendiri.
Kalo di dunia binatang, gajah itu kan belajarnya ngangkat barang berat, sedangkan monyet manjat pohon. Dan karena semuanya memiliki kebebasan, ya terserah individunya, mau hidup di lingkungan monyet, atau lingkungan gajah. Ketiika seekor gajah masuk ke lingkungan monyet, pilihannya ada 2, pertama kembali ke lingkungan gajah dan kedua tetap di lingkungan monyet tapi harus bisa memanjat. Jika gajah milih yang kedua, apakah sistemnya salah dan merusak passion tadi? Atau malah gajah kesenengan manjat pohon dan lupa passionnya? Atau mungkin gajahnya ga bisa manjat dan menyalahkan sistemnya? Terserah.
Kalo saya sih tidak begitu minat dengan ilmu yang ditekuni sekarang. Bukan passion saya. Saya lebih suka dunia sastra, mendaki gunung, lewati lembah, main ke hutan lalu belok ke pantai sehabis pergi ke pasar dan mecahkan gelas biar ramai, dibandingkan seharian harus menghitung luas bangunan dan membuat visualisasi gambar kerja yang tak ada habisnya. Namun passion itu bukan alasan untuk tidak bertanggung jawab dengan apa yang sudah saya pilih. Mungkin saat ini saya seperti gajah yang disuruh memanjat pohon karena pilihannya sendiri.
Apa lantas sistem yang saya arungi ini salah? Nggak. Saya gajah yang bermimpi punya rumah teduh di atas pohon. Makanya saya masuk lingkungan monyet, belajar manjat. Ga pantas saya bicara, ”Hei, saya gajah bukan monyet,” saat diajar manjat pohon demi mewujudkan mimpi. Saya hanya perlu bersabar dan melaksanakan sistemnya dengan BENAR.
Jadi jangan sok menyalahkan pemerintah, mereka juga sudah memikirkan semuanya dengan baik-baik. Tapi ketika target mereka tidak tepat, bukan berarti mereka salah. Yang wajib melaksanakan sistem negara tidak hanya mereka, tapi kita juga. Sama seperti ada aturan menaati lampu lalu lintas, apakah yang wajib melaksanakannya hanya polisi? Kan nggak. Semua lapisan masyarakat harus patuh, agar tidak terjadi kecelakaan.
KITA lah yang bertanggung jawab untuk berubah. Meski menteri pendidikan itu diganti pak menteri terhebat sekali pun, tapi kalo KITA tidak mau melaksanakan sistemnya dan selalu melanggar, ya nggak akan jadi apa-apa. Udahan ah, udah panjang begini artikelnya.
Pendidikan itu membuat orang terdidik, tidak hanya terlatih. Passion itu memang penting, tapi bukan berarti bisa dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab yang sudah kita pilih. Mari kita laksanakan sistem, tak hanya berdebat yang mana hitam, yang mana putih. Optimis dan jauhi perilaku curang tapi mengharap lebih. Jangan jadi orang yang menyebarkan celaan dan hinaan, tapi jadilah orang yang menyebarkan kasih. Berhati bersih walau pahit selalu didendangkan mereka yang berucap buruk dengan fasih. Melaksanakan sistem dengan selalu mengevaluasi dan meningkatkan kualitas diri meski harus tertatih.
____________________________________
Referensi:
“Catatan Bangsa Yang Aneh” oleh Khusni Mustaqim
“Apakah Benar Gajah Tidak Dapat Memanjat Pohon?” oleh Ade S. Nugroho
hai mban!
BalasHapusikut komen soal UN boleh ya? hehehe
ane termasuk orang yang menolak standarisasi sistem evaluasi nasional, yah kalo di kita dikasih nama UN
banyak sekolah di pinggiran (termasuk sekolah dasar saya) yang sarana dan pra sarananya,, gurunya (banyak yg blm sarjana) jauh tertinggal.
beda dengan sekolah sekolah yang ada di kota yang standar fasilitas dan gurunya udah nasional bahkan internasional
aku keberatan aja sih ketika siswa sudah dikasih kewajiban sebegitu tanpa terpenuhi hak hak mereka sebagai siswa
itu tujuan UN sebenarnya, meratakan dan menyempurnakan kebijakan dalam pendidikan. Kalo sekolahnya tidak mencukupi standar, maka akan dipantau dan diberi tunjangan untuk memenuhi satndar. diberi hibah istilahnya. sehingga pendidikannya bisa sama, kota maupun desa, ga bergantug pada fasilitas teknologinya. lagipula, saya juga dari desa kok, kurang rusak apa coba sekolah saya, perpus ga pernah dibuka, pengajar banyak yg udah tua, sekalinya muda, baru lulusan SMA, komputer? satu, itu pun punya TU. tapi kami tetap menghormati hak penyelenggara. jangan posisisakn diri sebagai pihak penderita, itu virus bahaya. UN itu dibuat agar yg di desa dan di kota dapat soal yg sama sehingga saat dijenjang berikutnya kita sudah siap dan setara. Masalah yang standar Internasional, itu pengecualian, itu seharusnya belum ada. kalo tentang itu, saya juga ga setuju. kalo kita kelulusannya nanti berdasarkan standar sekolah, kita bisa jauh tertinggal lho, ama mereka yg serba wah. Ini bukan salah UN nya, tapi pelaksanaannya yang tidak sesuai. mau pake sistem apapun kalo pelaksanaannya ga sesuai, ya bakal kacau semua.
HapusEh iya, buat para guru, lihat nih, ada anak murid yg menginginkan kalian menemaninya belajar di plosok pedalaman. Kalo kalian para guru ngaku peduli pendidikan, jadikan mengajar sebagai bentuk terima kasih dan kepedulian dong, jgn dijadikan bisnis apalagi pekerjaan yg menghasilkan.
hohoo aku jelasin sekali lagi salah nangkep keknya hahaha
Hapusaku sepakat UN sob, aku sepakat standarisasi evaluasi belajar siswa Nasional melalui UN
tapi ga sekarang
pemerintah harusnya membenahi dulu dan menstandarkan sarana dan prasarana siswa, dengan sarana dan prasarana yang sangat timpang, dengan kemampuan guru yang sangat timpang pula evaluasi nasional bakal jadi momok buat siswa yang ada di pinggiran
sama kan ama ini "UN itu dibuat agar yg di desa dan di kota dapat soal yg sama sehingga saat dijenjang berikutnya kita sudah siap dan setara"
hehehe
aku juga pengen kesetaraan sob
tapi bukan dengan bahan evaluasinya dulu
*Sesama ga nangkep*
Hapusjustru dengan UN mereka belajar membenahi, dilihat dari hasil UN, mereka mendata wilayah dan sekolah mana yang kurang, trus diperhatikan dan diimprove. Makanya ada program guru untuk mengajar di pelosok, karena hasil UN yg di plosok lebih rendah, permasalahannya, masih sedikit guru yg peduli dan malah mementingkan diri.
langkahnya begini: sekolah > UN > hasil > dibina
makanya meski ada yg tidak lulus UN, pemerintah masih memberi keringanan melalui ujian paket. Ya karena mempertimbangkan kekurangan fasilitas tersebut, tanpa perlu menunggu pembinaan yang akan dilakukan agar tidak merugikan siswa.
kalo nunggu nanti-nanti saat semuanya udah sama, ga akan pernah terjadi, karena setiap sekolah tentu berkembang dengan berbeda, apalagi yg di kota. ya kesetaraan yg diinginkan ga akan tercapai.
diperhatikan, di improve itu real ga?
Hapuskalo cuman harapan ya sama aja, aku juga sedang berharap
hehehe
kalo guru yang keplosok emang udah ada walau dikit (kuota serta peminat)
ijazah hasil ujian paket ga sama bobotnya ama ijazah UN, buat lamar dimanapun termasuk di pemerintah yang bikin sistem kejar paket
hahaha
ga harus setara bro
minim standar fasilitas dan standar gurunya di penuhi dulu
baru ngejar standar evaluasi (UN)
Kalo dilihat dari sekolah daerah saya sih, kemajuan dan improvisasinya ada... hanya guru-gurunya saja yang kurang... makanya saya bilang, orang banyak yg peduli kemajuan pendidikan, tapi untuk ke plosok, mereka paling muka.
HapusNah itu, kalo sekolah ditetapkan berdasarkan keputusan sekolah yg notabene memiliki standar beda (yg di kota pasti lebih maju daripada daerah), nanti kalo kamu melamar kerja pake jazah sekolah daerah, malah ga bakal dianggep. Ya karena standar sekolah daerah lebih kecil.
Itu yang seharusnya kita ubah, kenapa kalian meminta fasilitas dulu baru mau melaksanakan sistem dengan baik? Bagaimana seorang karyawan menuntut bosnya agar diberi gaji tinggi baru mau bekerja keras. haahhhh.. kalian ngaku benci dengan DPR yg bangun gedung mewah agar kerjanya rajin, tapi kalian malah berkelakuan sama. Yang salah bukan ini itu dalam sistem, tapi orang-orangnya yang tidak mau sepenuh hati melaksanakan sistem.
nah itu faham kalo standar kita belum sama
Hapusdengan standar belum sama, mengerjakan soal yang sama tinggian mana hasilnya?
sama aja kan hasilnya? kalo orientasinya untuk ndaftar kerja
kayane analogi boss dan karyawan kurang tepat
dari mana tau kalo saya menolak pembangunan gedung baru DPR?
yaa minimal finlandia udah nunjukin ke kita gimana pemerhatian sarana dan prasarana serta guru dapat membuat pendidikan lebih berhasil bahkan tanpa standarisasi sistem evaluasi sekalipun
susah memang diterapin di Indonesia yang negaranya kelewat luas
*malah dibalikin ke awal lagi* makanya UN dibuat secara global, sama. Dengan hasil pendidikan sama. Agar kalo pikirannya cuma mau ngelamar kerja, kelulusannya bisa dianggap sama dengan sekolah lain. Kalo berdasarkan sekolah, nanti akan ada sekolah yg dianggap tinggi dan ada sekolah yang diang.. *ga dianggap tepatnya* karena kualitas sekolahnya beda jauh. Kalo diratakan dengan hasil standar sama, maka orang akan melihat individunya, bukan sekolahnya. "Oh Amin, ini bagus nih" "hah, SMA desa pojok? ga usah dipilih, itu kualitasnya jelek, walaupun ngakunya siswa berprestasi." begitu.
Hapussama. Orang yang berpikir difasilitasi dulu baru bekerja, ga ubahnya dengan mereka. Yang dipentingkan itu kualitas pengajarnya dulu, ini malah pengajarnya yang minta difasilitasi biar rajin. hah?
Untuk menjelekkan sistem, kita harus tau dulu tentangnya, jangan asal ini bagus itu buruk. Apalagi tentang mutu pendidikan, secara berurutan yg penting itu 1. kualitas guru, 2. kurikulum, 3. sarana dan prasarana
Finlandia. Itu selalu yg jadi alesan. Dimana-mana, informasi negara itu selalu yang dikeluarkan yang baik-baik, agar negaranya terpandang. Telaah dulu, karena setiap negara memiliki sistem berbeda yang sesuai budaya, moral, dan kebiasaan bangsanya, serta memiliki permasalahan sendiri dalam sistem pendidikannya. Kalo memang sistem Finlandia itu bisa diterapkan semua bangsa, maka negara lain akan menganutnya (tercatat paling baik sistemnya). Tapi lihat, ga semuanya kan begitu, itu karena mereka harus mempertimbangkan semuanya. Ga asal ini bagus. Lagian ya, seperti yg saya tulis di atas, sebaik apa pun sistemnya, kalo pelaksananya tidak mau mengikuti, tetap aja bakal ga jadi apa-apa.
aku termasuk orang-orang yg gak setuju UN dihapuskan. "sekolah 3 tahun ditentukan 3 hari?" masa iya jawab soal kayak gitu aja gak bisa.. 3 tahun sekolah ngapain aja? mikir!!! :)
BalasHapusiya, kalo kelulusannya berdasarkan standar sekolah masing-masing, tidak secara nasional, nanti bakal ada sekolah yg majunya berlebih dan ketinggalannya juga berlebih, tergantung fasilitas. Makanya kontrol nasional itu perlu, bisa-bisa saat mlanjytkan ke jenjang berikutnya, banyak sekolah yg menolak murid dari Sekolah lain karena standar sekolah sebelumnya sangat kecil.
Hapus*komentar ini disponsori oleh otak saya yg howhaw*
pelajar jaman sekarang kalau mau ulangan/ujian aja baru belajar.. :D belajarnya pun paling cuman dibaca doank gak dicermati, atau kalau disuruh mencermati dia malah menghafal kalimat yang mau dicermati -_-
BalasHapusYa, apa yang salah UN? nggak kan. Kita lah yg harus merubah paradigma sendiri. Kalo kitanya ga bisa berubah, ya mau diganti sistem apapun akan sama saja.
HapusSetuju kalo passion diandalkan untuk membenci pelajaran lainnya, jalan tengahnya sih lebih ke kalo kamu gak suka pelajarannya, ya udah belajar aja. Santai aja gitu. Yang passion, matengin terus.
BalasHapusBill Gates bilang, kalo temen2nya bisa semua pelajaran dia paling pol sampe manager doang. Sedangkan dia yang bisa beberapa pelajaran aja sekarang CEO :))
-__- Bil Gates kan yg dikagumi, bukan sistem pendidikan Amerikanya. Berarti ya kita mulai dari tiap individu untuk berubah, bukan dengan menyalahkan.
HapusTapi ga harus jadi Bill Gates juga, banyak orang yg pintar di berbagai bidang yang jadi petinggi hebat, cuma ga terkenal. Tapijuga kebanyakan dari mereka memilih jd pengajar karena peduli agar generasi berikutnya bisa pintar, mereka ga mentingin diri sendiri, ga mentingin perut sendiri. Kalo sampai mereka yg pintar berbuat untuk diri sendiri, habislah dunia pendidikan kita. Hormati para guru juga donk. jangan sok mencontoh org yg pendidikan rendah tapi berhasil. Kalo mentalnya tidak terdidik dengan baik, berhasilnya ga akan datang-datang.
sebetulnya UN nasional juga ada baiknya, karena dengan UN standar nilai akan sama rata. sekarang masalahnya masih banyak yang mengeluhkan tentang fasilitas penunjangnya, kayak masih banyak di temui sekolah-sekolah yang tidak mempunyai sarana yang memadai.
BalasHapusaku anggap ini hanya sebagia dari proses, tinggal sekarang ada komunikasi dan kerjasama dari pemerintah dan masyarakatnya.
Iya, mengurus semua sekolah di seluruh pelosok negeri tidak mudah, mungkin banyak yg berpikiran tinggal berikan dana ke sekolahnya, beres. Tapi prosesnya tidak begitu, ada faktor alam dan kebiasaan yg menghalangi. Seperti pelosok yg tidak terjangkau internet, tidak mungkin begitu saja memberikan seperangkat alat internet. Harus bertahap dalam menangani masalah internet tersebut. Fasilitas penunjang pendidikan awalnya hanya tempat, pengajar, bahan bacaan dan alat praktikum. Namun seiring perkembangan zaman, penunjang tersebut juga semakin berkembang, tempat yg lebih nyaman, alat praktikum yg lebih baik, pengajar yang lebih profesional. Namun, untuk memenuhi penunjang yg berkembang tersebut tidak bisa dengan mudah dipenuhi. selain dari sisi pemerintahan, juga dari sisi penunjang sendiri. Ada pengajar profesional yg tidak mau ke plosok, ada alat praktikum yg tidak bisa diterapkan di wilayah tertentu, dan hal lain. Itu semua butuh proses dan harus disesuaikan dengan keadaan tempat atau wilayahnya. Dengan UN itu, mereka mencoba sekolah mana yg jauh tertinggal, sehingga tempat tersebut lebih diutamakan. Sialnya, malah UN dianggap momok menakutkan. Org pemerintahnnya pun mulai tidak stabil dan mengikuti begitu saja masukan instan, hasilnya sistem pendidikannya berubah beberapa kali, padahal evaluasi sistem tersebut tidak bisa dilihat secepat itu, perlu waktu puluhan tahun sistem tersebut terlihat hasilnya. Dan hasilnya pun tidak hanya melulu di kota, tapi juga di semua wilayah. Mungkin yg di kota tidak merasakan manfaat kemajuan sistemnya, tapi tidak dengan wilayah lain yg semakin tinggi kemajuannya.
Hapusgua setuju sih haw sama lo..
BalasHapusdulu gua takut banget yang namanya UN karena pas zamannya gua adalah yang pertama kali nyobain UN. sampe kunci jawaban nyebar dimana2 gara2 saking takutnya ngga lulus..
tapi pas gua UN, biasa aja tuh.. ternyata cuma media dan orang2 sekitar yang nakut2in soal UN.. cuma gua rasa pemerintah perlu untuk agak memperbaiki lagi sistemnya.. dan media pun jangan nakut2in banget lah.. mereka malah bikin parno..
Namanya juga hidup Dis, ada aja hal yg membuatnya seram. Bahkan yg baik ditolak, yang salah dibela. Tapi keputusannya tetap pada diri sendiri. Mau ikut-ikutan, atau menentukan sikap.
HapusNice blog^^
BalasHapusThank you for following ;)
#SalamBlogger
Iya, salam ;)
Hapusgua selalu suka main ke blog lo haw. selalu memandang dari persepsi yang berbeda. keren deh.
BalasHapusgua sebenarnya kurang mendukung UN juga sih. karena terlalu multifungsi. seharusnya cukup menjadi parameter keberhasilan pendidikan. ini malah jadi penentu kelulusan, syarat masuk sekolah favorit, syarat masuk PTN. itu aja sih
Dam kamu paling ngerti isi postingannya. Iya, tujuan awalnya sebagai parameter dan sebagai pemerataan penilaian jika akan dijadikan lampiran cari kerja, tapi makin ke sini malah makin ga jelas, UN jd penentu segalanya. Itu sih yg gue sorot dengan ga sepenuhnya salah. Masalah kelulusan sih, nilai dr sekolah jg dinilai lo di sekolah saya, karena ada temen saya yg lulus UN tp ujian sekolah dia ga lulus. Mau ga mau dia harus melakukan ujian sekolah ulang. Ga tau deh di sekolah lain.
HapusTapi untuk menghilangkan UN harus jelas urutannya, karena penentu lulus dikembalikan ke sekolah, maka hal utama yg wajib ditingkatkan adalah guru atau pendidiknya, agar tidak ada sekolah yg dipandang rendah oleh instansi lain, karena mereka telah dididik oleh pengajar yg berkualitas. Itu maksudnya.
Kalo melihat sistem pendidikan secara keseluruhan, bukan cuman UN, gue lebih tertarik sama sistem kelas akselerasi. Di mana kebanyakan sekolah yang bikin kelas akselerasi ini belum memahami betul apa tujuan dari sistem itu sendiri. Kasian kadang sama anak aksel yang harus dijejali ilmu dari pagi sampai sore atau bahkan ada yang sampai malam. Padahal, mereka (anak aksel/IQ ekstrem kanan/gifted) juga punya bakat di luar akademik itu.
BalasHapusIni kasusnya lagi ramai diperbincangkan. Seru mungkin kalo dibahas lebih lanjut di blog ini hehe
Untuk menolak suatu sistem, atau mendukungnya, kita harus tau seluk beluk semua tentang sistem tersebut. Saya juga ga sepenuhnya setuju dengan sistem di Indonesia, juga ga berarti membenci, karena sistem tersebut dirancang oleh orang berkompeten di bidangnya yg terlebih dulu dilakukan penelitian bersama. Makanya saya bilang ga sepenuhnya salah :p
Hapusmasalah akselerasi, itu tergantung keputusan sekolah, karena sistem tersebut lebih diserahkan kepada pihak sekolah. saya sendiri merupakan siswa yg pernah mengikuti program akselerasi. cuma di sekolah saya ga ada penjejalan materi pelajaran, smeua tergantung kepada saya, saya hanya diberikan soal dan pertanyaan lisan, juga dicoba beberapa minggu di kelas atas, jika bisa mengikuti dengan baik, dari segi materi maupun pergaulan kelas, maka akselerasi saya berhasil. Jadi tergantung sekolah dan individunya juga sih, jujur saja saya ga banyak dituntut untuk lolos program tersebut, saya juga ga ambil pusing, tapi lolos. Cuma ga enaknya, kalo temen sekelas ga nyambung, untunglah waktu itu temen sekelas (kakak kelas dulunya) juga merupakan temen main di lingkungan rumah.
sebagai pelajar yang memikirkan UN itu bikin gemetar, saya setuju kalo UN dihapuskan. tapi setelah membaca ini, saya jadi berfikir, memang kalau UN dihapus akan menghasilkan perubahan yang lebih baik. lah allhamdulillah kalau dapat pengganti UN yang meringankan siswa, lah kalau tambah menyulitkan dan kualitas tambah memburuk. bagaimana?
BalasHapusiya, karena UN sebenarnya untuk evaluasi dan pemetaan agar terjadi PEMERATAAN ilmu, bukan penyeragaman, karena kalo gak diratakan, orang yang sekolah di desa akan kesulitan melanjutkan ke kota karena beda standar yang ditetapkan sekolah :D
Hapus