Aku sepertinya terlalu percaya diri. Ternyata tidak mudah menaklukkan seorang gadis bernama Berlian Felisia agar jatuh cinta. Untuk sekadar tertarik pun, sepertinya tidak. Makanya cerita ini lama berlanjut. Beberapa bulan ini, setahun jika ditambah dua bulan lagi, kami benar-benar berusaha membuat Liyan agar jatuh cinta pada kami bertiga. Yang setelahnya, dia akan kami campakkan, tentunya.
Menarik perhatian perempuan itu tidaklah terlalu susah, mestinya. Mereka kaum yang lebih mementingkan perasaan dibanding pikiran, banyak drama. Sehingga, sesuatu yang bersifat tidak sengaja akan mudah menjadi perhatian.
Awal-awal aku mendekatinya, tiap dua minggu sekali, aku harus pergi ke perpustakaan untuk menjadi bayangannya. Gadis itu, tiap dua minggu sekali pada hari Kamis, selalu berada di perpustakaan daerah. Jadi, mohon maaf jika kalian mesti menunggu waktu berbulan-bulan untuk mengetahui kelanjutan cerita ini sebelumnya. Saat itu, aku hanya datang, mengambil buku di rak sastra dan duduk di tempat yang kira-kira terlihat/disadari olehnya. Cukup disadari, tanpa perlu saling menyapa. Seperti menjadi banyangan yang sesekali melirik ke arahnya yang selalu terlihat membaca buku filsafat. Setelah beberapa kali melakukannya, barulah aku bisa mendapatkan alasan untuk berkenalan,
“Sepertinya kita sering ketemu di perpustakaan daerah, deh.”
Begitulah. Dan dia merespon baik tanpa curiga. Karena wanita itu makhluk yang menjunjung tinggi suatu kebetulan, ketidaksengajaan. Contohnya saja, ketika mereka tidak sengaja memakai baju yang warnanya sama dengan gebetannya, mereka senangnya luar biasa. Beda pokoknya jika bajunya samaan karena janjian. Entah apa yang mereka harapkan dari sebuah ketidaksengajaan tersebut.
“Minggu nanti, kita ketemuannya di taman kota, ya!” ajak Liyan melalui pesan di telepon selular. Aku mengiyakan.
Setelah lima bulan menjadi bayangan, aku dan Liyan akhirnya menjadi teman. Tiap minggu pasti kami selalu ngajak ketemuan. Membicarakan berbagai macam hal, yang ujungnya akan lari pada puisi atau pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Ah, akhirnya, kalimatnya bersepakat dalam akhiran. Seperti Hawadis dan Silvia yang sedang surat-suratan. Mestinya, keseluruhan akhir kalimatnya demikian, agar sesuai dengan narasi persil satu yang sebelumnya diceritakan. Lelaki yang menapaki puisi dalam menjalani kehidupan. Kedengeran keren, kan?
****
Aku, Wira dan Hadi kembali berunding. Hal ini selalu kami lakukan sebagai sarana pemantauan untuk menentukan rencana berikutnya. Sebelum melakukan perundingan, masing-masing akan menceritakan kemajuannya dalam melakukan pendekatan pada Liyan. Dari situ, aku tahu kalo Wira pernah dipusingkan oleh pertanyaan Liyan dan Hadi yang belum juga menemukan waktu dan alasan yang tepat untuk berkenalan. Ketidaksengajaan yang berulang dengan orang yang berbeda itu mencurigakan, bukan?
“Lu terus lakukan pendekatan dan tambahi dengan perhatian, Yo, ini kesempatan lu. Karena dari kita bertiga, elu lah yang paling sering diajak ketemuan. Gue cuma tiga kali. Hadi...eee...”
“Iya, tahu. Gue belum kenalan sama sekali,” potong Hadi sambil menatap Wira datar ke arah Wira yang tertawa, lalu menoleh ke arahku, “jadi, Yo, seandainya kita gagal membuatnya patah hati tiga kali, paling tidak buat dia patah hati dengan teramat sangat,” lanjutnya.
Aku mengangguk. Ah, kami sudah seperti penjahat yang tidak berperasaan. Kejam. Mungkin kalian heran, kenapa di cerita sebelumnya kami dinarasikan baik dalam pergaulan dan penuh prestasi, tetapi sekarang memiliki rencana yang akan membuat orang kesakitan. Ini semua karena janji pertemanan.
“Celana dalamku hilang.”
“BH gue yang dijemur kemarin, kok, nggak ada?”
Itu pasti kalimat yang akan diucapkan oleh pemilik pakaian dalam tersebut. Walaupun dikenal berprestasi, sewaktu SMP, kami tetaplah sekumpulan bocah lelaki yang nakal. Beberapa kali mencuri pakaian dalam perempuan, aku pengecualian. Sebelumnya. Karena aku tahu, itu bukan tindakan yang baik.
Sebagai teman, aku seharusnya mengingatkan kalo perbuatan mereka itu salah. Seperti itulah yang biasanya dikatakan oleh guru. Tapi, apa benar itu merupakan tindakan sebagai teman? Pikiranku menentang. Karena jika kita mengaku teman, mestinya, kita akan melakukan hal yang sama. Solidaritas. Dan mulailah aku mewarisi kelakuan mereka. Untuk apa mencuri pakaian dalam? Ya, hanya sebagai pegangan. Kadang dicoba pakai untuk ditertawakan. Difoto sebagai senjata ancaman. Setelah bertahun menjalani pertemanan tersebut, kami sepakat, jika ada yang menyakiti salah satu dari kami, kami akan membalasnya tiga kali lipat.
.
****
“Kata yang mesti dijadikan tema puisi selanjutnya...,” aku membuka gulungan kertas kecil yang sebelumnya telah kami tuliskan kata tertentu dan dipilih secara acak, “...adalah kata ‘tukik’.”
Aku menembus gumuk
Telantar dalam hiruk-pikuk
Melompati tiap kutuk
Memaksa naya membekuk kantuk
Oh, aku melihat Tuhan
Dia berada di seberang jalan
Oh, aku melihat Tuhan
Dia menari-nari di bawah bulan
Ah, kenapa Tuhan di bawah bulan meredup?
Ah, kenapa Tuhan di seberang jalan didatangi hidup?
Lalu, apa aku harus menyusul redup?
Atau harus menyongsong kaum hidup?
Kaumku redup saat menyongsong hidup
Sejarah kami menulisnya sebagai cobaan
Kaumku memperistri aspal setelah dilindas angin berkatup
Sejarah kami menulisnya sebagai pengorbanan
Aku menyentuh kaki Tuhan yang hakiki
Tapi Tuhanku mati
“Jago emang lu kalo disuruh berpuisi,” pujinya. Aku menyunggingkan senyum. Sudah tiga kali aku menciptakan puisi dadakan dalam permainan ini. Sedangkan Liyan, belum sama sekali. Dia selalu menggelengkan kepala ketika kuminta untuk mencoba.
“Gue nggak bisa berpuisi,” ucapnya selalu.
Tapi tidak kali ini. Karena dia sudah berjanji, setelah memberiku tantangan membuat puisi dadakan tiga kali, dia akan membacakan puisi yang pernah dibuatnya. Walau tanpa intonasi.
Di awal pertemuan tadi, dia menceritakan tentang temannya yang beberapa bulan lalu meninggal bunuh diri. Adit. Melalui ceritanya, aku tahu kalo Liyan memang menyukai Adit. Kutanya, kenapa bunuh diri? Dia menggeleng sambil menatap sepatunya dengan pikiran yang ditampung dengan matanya. Hingga akhirnya kuingatkan tentang permainan puisi dadakan.
Kau menyuruh berbahagia
Tapi Kau ciptakan celaka
Kau membuat berada
Tapi untuk binasa
dia datang dengan baju yang Kau titipkan
Lalu dia pergi mencari ukuran
Apa Kau sedang bertaruh?
Singkat sekali bait yang dia bacakan. Aku tak mengerti maknanya secara keseluruhan. Sebagian terdengar seperti tuntutan kepada Tuhan. Entahlah, aku tak melanjutkan mempertanyakan. Aku hanya bertepuk tangan dan beberapa kali memberi anggukan.
“Itu bagus,” ucapku.
“Emang ngerti?”
“Dikit. Tidak semua puisi bisa dipahami seketika, ada yang mesti dilalui dalam pengalaman untuk mencernanya. Mungkin beberapa waktu lagi aku baru bisa mengerti semuanya.”
Setelah itu, aku mulai menanyakan kembali tentang Adit. Tentang kedekatan mereka, kapan terakhir kali mereka bertemu, apa yang mereka bicarakan saat itu, dan lain sebagainya. Dan aku baru tahu, ternyata Adit nggak di-PHP-in Liyan, karena dari cerita Liyan, mereka akan ketemuan lagi. Tak ada perkelahian, tak ada pertengkaran.
“Katanya, dia akan memanggil Tuhan,” ucap Liyan.
Entah ini maksudnya gimana. Memanggil Tuhan. Kalo memanggil teman mungkin bisa pake telepon selular, tapi Tuhan? Ini Adit bego apa kelewat pinter, sih? Lagi pula, siapa yang ngajarin kalo cara memanggil Tuhan itu dengan cara menusukkan pisau ke dada? Terus, pisaunya nggak dimasukin simcard lagi...
Bersambung...
Ini cerpen dari mei 2015, baru disambung di Maret 2016.
BalasHapusLu bikin gue menunggu terlalu lama bang. Hahaaa
Rencana mereka bertiga mulai berjalan juga. Bener bang, hilang semua sosok mereka yang baik dan beprestasi di sekolah yang gue baca di bagian 1 kemarin. Wkwkwk
Suka nyuri beha dan daleman. :D
Nah loh, jadi bukan di PHP-in Liyan ya? Manggil Tuhan dgn cara bunuh diri. AHELAH PENASARAN
Iya, Ul, maaf. walo lama, tapi pasti, kan...
HapusSebenernya itu karena aku susah dapet ide kalo anak-anaknya baik semua. enakan kalo ada nakal-nakalnya.
kagak bakal sampe penasaran juga, kok. Wong aku posting semuanya ampe tamat.
Hai Aryo, bikinin puisi buat aku donggggsss~
BalasHapusAku barusan baca yang bagian pertama. Dan sekarang baca bagian kedua ini. Mereka keren sekali balas dendamnya. Kompak. Cerpennya kece badai, Haw. Aku nggak punya bayangan apa-apa ntar ini bakal gimana. Ibaratnya udah kayak diajak jalan naik pesawat, tapi nggak tau tujuan dan nggak tau kapan mendarat. Aku cuma bisa nikmatin pemandangan di langit. Halah, aku ngomong apa sih. Intinya keren, Haw. Aku yang tadinya berprasangka buruk sama Liyan, jadinya kasihan sama dia. Huhu.
Jangan, Cha. Cowok yang berpuisi sekarang udah dianggap nggak keren. mending cowok yang berdasi, pake mobil sendiri, datang sepenuh hati meski ninggalin istri.
HapusBelom juga dibaca ampe abis, belom ketahuan keren nggaknya. bisa jadi pas bagian akhir malah kesel, loh. "cerita macam apa ini!"
Akunggak tega bikin perempuan dicampakkan, walo itu cuma cerita. =(