Dari kami bertiga, saya yang paling telat berkenalan dengan Liyan. Aryo yang ditunjuk mendekati pertama kali mendekati Liyan, punya alasan setelah menjadi bayangan (selalu muncul di sekitar Liyan). Wira yang emang dulunya playboy, punya banyak cara mendekati Liyan. Dengan berpura-pura mengambil bola basket yang menggelinding ke arah Liyan, dia pun berhasil berkenalan. Saya? Menyedihkan.
Butuh waktu dua minggu kemudian setelah Wira berkenalan, barulah saya mempunyai alasan untuk berkenalan. Siang itu waktu sedang mengendari motor di jalan raya wilayah ibukota, di depan saya ada ibu-ibu motor matic. Semua orang tahu, berada di belakang ibu-ibu motor matic itu merupakan musibah. Dia memberi lampu sinyal ke kiri, tapi beloknya ke kanan. Saya tahu pola tersebut.
Setelah beberapa meter terus berada di belakangnya dan telah memasuki jalan yang tidak terlalu ramai, dia menyalakan lampu sinyal pertanda akan berbelok ke kiri. Dia pasti mau belok ke kanan, pikir saya. Ketika sudah sampai di pertigaan, si ibu-ibu motor matic ini beneran belok kiri sedangkan saya akan mengambil jalur lurus. Jalur lurus tapi mengambil jalan sebelah kiri karena khawatir dengan ibu-ibu motor matic menyebabkan saya hampir menabrak motor ibu-ibu matic tersebut.
Kepakeman rem motor yang saya pakai patut diacungi jempol. Motor ibu-ibu matic tadi lewat begitu saja. Motor saya berhenti. Namun tiba-tiba saya terdorong ke depan dan mengakibatkan motor saya tumbang, bersama pengemudinya juga. Di belakang, ada pengendara lain yang juga tumbang karena gagal mengerem dan menabrak saya yang tiba-tiba berhenti. Dalam ilmu Fisika, ini namanya proses tumbukan. Sial.
Saat meminggirkan motor dan membantu pengendara yang jatuh juga, saya mengutuk ibu-ibu matic dalam hati. Kenapa dia tidak seperti ibu-ibu motor matic lainnya? Kenapa setelah memberi lampu sinyal belok kiri, dia malah nggak belok ke kanan? Kenapa? Saya beranggapan, itu ibu-ibu motor matic pasti ibu-ibu motor matic yang nggak ibu-ibu motor matic – ibu-ibu motor matic amat. Dia pasti masih newbie di dunia peribu-ibu-motor-matic-an.
Ingin rasanya saya memebelokkan cerita biar dramatis dengan mengatakan kalo orang yang menabrak motor saya dari belakang itu adalah Liyan. Tapi, kenyataannya bukan. Saya bertemu dengan Liyan di warung bakso dekat kejadian tersebut. Setelah menyelesaikan urusan dengan pengendara yang jatuh tadi, saya mampir di warung bakso. Lapar. Karena duduknya berdekatan dan mungkin juga dia mendengar kehebohan, dia bertanya ada kejadian apa. Aku menjelaskan. Tentang ibu-ibu motor matic yang nggak sesuai dugaan. Dia menertawakan.
Liyan ini orangnya ternyata asyik juga kalo diajak cerita, berdebat tentang pengetahuan, terlebih tentang ketuhanan. Dia gadis yang pintar. Kami saling tukeran kontak dan janjian untuk ketemuan lagi. Sepulangnya, saya menceritakan kepada Wira dan Aryo. Lalu mulai membuat rencana pembalasan dendam.
****
Hari ini, setelah dua minggu hanya saling kontakan melalui telepon selular, saya dan Liyan akan ketemuan. Di cafe yang namanya kayak sapaan anak gaul dan mirip juga ama nama aplikasi chatting.
“Di cafe itu ada permainannya juga, kok, kayak Uno dan ular tangga, walau nggak sebanyak di cafe Strawberry, sih,” jelas Liyan.
Sebelum bertemu dengannya, saya sudah menyiapkan beberapa teori dan rumus Fisika yang dikaitkan dengan berbagai hal untuk menarik perhatiannya. Seperti kenapa gadis cantik itu diibaratkan bulan dan gadis cantik tersebut sering menimbulkan tangisan. Hah? Kalian mau tahu kenapa? Itu, bulan yang terlalu dekat dengan bumi akan mengakibatkan banjir. Jadi, jangan terlalu dekat dengan ‘bulan’, karena keseringan, akan mengakibatkan banjir. Di mata.
Saya menyiapkan teori dan rumus-rumus ini bukan karena saya cemen. Tak pernah bisa menarik perhatian perempuan dengan tindakan wajar. Bukan. Tapi ini bentuk dari usaha. Karena secara teori, benda tak akan bergerak jika gaya dorongnya lebih kecil dari gaya gesek. Apalagi perasaan, mana bisa tergerak dengan perhatian yang kecil.
“Jadi, Ha, sebagai yang menciptakan segala, yang berarti menciptakan bencana dan kejahatan, apa kita masih perlu memohon pada Tuhan? Atau simplenya, memangnya Tuhan itu ada?” tanya Liyan setelah menjelaskan berbagai contoh yang mendukung argumennya mengenai keberadaan Tuhan. Dan ini ditanyakannya setelah dia bercerita tentang Adit yang bunuh diri.
Saya menatap gelas yang baru diletakkan oleh Liyan setelah menenggak separuh isinya. Embun menghiasi luar gelas tersebut. Pikiranku masih tentang Adit. Sepertinya, Liyan memang tidak berbohong. Mereka akan ketemuan untuk membahas hal dan menuju jadian. Lalu, apa yang membuat Adit bunuh diri? Saya masih tidak percaya jika alasannya mau memanggil Tuhan.
“Aku pernah mendengar cerita, orang menanyakan wujud Tuhan, takdir dan juga setan yang bakal dimasukkan neraka padahal setannya sendiri terbuat dari api, dan seorang guru menjawab tiga pertanyaannya itu dengan tamparan. Sakit itu terasa, tapi tak berwujud. Tamparannya mendadak, tak diperkirakan sebelumnya sebagai bentuk takdir. Dan kulit tertampar kulit yang menimbulkan sakit menjadi contoh api dengan api. Yang aku heran, jika Tuhan itu seperti rasa sakit, berarti suatu hari bisa hilang, kan? Terutama setelah menemukan obat. Ada juga yang bilang Tuhan itu seperti udara, terasa tapi tak terlihat. Bukannya itu juga berarti Tuhan hanya zat biasa? Yang dihirup dan dibuang juga,” jelasnya lagi dengan lebih antusias.
“Pertanyaanmu mengenai kejahatan itu sama seperti mempertanyakan tentang dingin dan gelap. Dalam ilmu Fisika, gelap itu tidak ada. Itu hanya situasi tidak adanya cahaya. Alat ukurnya juga mendeteksi intensitas cahaya, bukan intensitas gelap. Dingin juga, nggak ada alat ukur dingin, karena situasi dingin terbentuk dari tak adanya panas. Begitu pun kejahatan, itu tindakan yang salah karena tidak adanya Tuhan dalam jiwanya,” ucap saya perlahan. Bukan karena biar terlihat bijaksana, melainkan mengingat-ingat cerita yang pernah saya baca di status Facebook orang.
Liyan mempertanyakan hal yang sudah terjawab dan disebarkan di media sosial. Liyan pasti bukan maniak media sosial. Lalu Google? Sepertinya juga tidak dia lirik, makanya dia betah membaca buku tebal di perpustakaan. Lagi pula, di media sosial dan situs-situs yang bertebaran, kebanyakan pemuka agama jadi-jadian, sih.
“Tuhan itu bukan sesuatu yang wajib dilihat. Makanya dikatakan, syarat iman itu adalah percaya pada Tuhan, bukan pernah berjumpa dengan Tuhan. Lagian, setiap orang, di alam bawah sadarnya sudah ter-setting untuk percaya pada Tuhan,” saya menjelaskan. Liyan menyimak.
“Seperti yang terjadi padamu, saat mengetahui teman kamu itu meninggal, apa yang hati kamu teriakkan? Permohonan pada Tuhan agar itu bukan kenyataan, kan? Meminta pada Tuhan agar dia kembali dihidupkan, kan? Namun, karena tidak dikabulkan, kamu semakin mengingkar. Semakin menolak keberadaan,” lanjut saya perlahan.
“Aku yakin, kamu dulunya pasti orang yang taat. Mungkin ada kejadian yang membuatmu membenci Tuhan. Karena dalam teori Fisika, medan negatif itu selalu menarik medan positif dan sebaliknya. Jika pengingkaranmu pada Tuhan diartikan sebagai medan negatif, maka percaya pada Tuhan adalah medan positif. Sehingga kamu selalu mencari-cari teori dan tindakan untuk membuang Tuhan dari pikiran, padahal, tindakanmu itu hanya akan semakin menarik bukti lain yang menunjukkan keberadaan Tuhan. Singkatnya, hanya orang yang percaya Tuhan itu ada yang mau susah-susah mencari bukti agar Tuhan dianggap tidak ada,” jelas saya yang tidak memedulikan pembaca cerita ini mengerti apa nggak.
Liyan diam. Matanya basah. Tapi bibirnya tersenyum manis. Manis sekali. Entah apa yang kini dipikirnya, yang jelas senyumnya bertahan sangat lama sambil menatap mata saya. Seandainya ini pertanda hatinya sedang menuai cinta, ini suatu berita yang bagus. Saya bisa membalaskan dendam Adit dengan mencampakkannya kelak. Aku juga tersenyum.
“Nanti kita lebih sering ketemuan, ya?” pinta Liyan setelah beberapa saat senyumnya hilang dan mengubah matanya menjadi binar sebelum kami pulang.
“Nggak perlu. Entah di hatimu, tapi di hatiku sedang ada getaran yang lembut. Berdasarkan rumus yang pernah kupelajari, f=n/t, frekuensi berbanding terbalik dengan getaran. Jika frekuensi pertemuannya makin besar, getarannya akan semakin kecil. Dan aku tak mau membuat getaran lembut ini mengecil,” jawab saya sambil menyunggingkan senyum. Liyan juga tersenyum.
Baiklah, anggap saja saya sudah mendapatkan hati Liyan. Saya tinggal menunggu waktu mencampakkannya. Masalahnya, jika bukan karena Liyan yang membuat Adit bunuh diri, lantas, apakah pembalasan ini masih diperlukan? Terlebih lagi, apa yang membuat Adit memutuskan bunuh diri? Ini masih membingungkan.
Bersambung...
Iya bener deh bang, ibu ibu itu masih newbie di dunia peribu-ibu motor matic-an. :D
BalasHapusIni Hadi kayak elu banget bang. Jago Fisika. Haahaa
Liyan malah keliatan nyaman bicara dengan Hadi, daripada dua temen yg lainnya.
Kamu jangan mau jadi ibu-ibu seperti itu nanti, ya, Ul. mending jadi ibu-ibu motor matic yang bener. pokoknya, abis nyalain lampu sinyal ke kiri, kamu mesti belok ke atas.
HapusPadahal aku nggak nyebut-nyebut fisika di keseharian. pusing sendiri entar. :ng
Kaum LDR kayaknya bakal senyum-senyum menggelinjang baca rumus fisika yang f=n/t. Getaran cinta semakin besar karena frekuensi bermereka kecil. Eh iya nggak sih gitu. Anggaplah gitu deh. Aaaaaaaaa~ *ditimpuk Haw*
BalasHapusHadi sama Liyan ini sehati kayaknya. So sweet banget kalau misalnya mereka pacaran. Liyan cewek cerdas, luluh dan berkaca-kacanya aja sama gombalan fisika. Bukannya sama puisi atau goyang drible, eh drible aja maksudnya.
*frekuensi bertemu
HapusIya. anggap aja begitu, Cha. itung-itung nyenengin diri-sendiri.
HapusMungkin iya. tapi aku sukanya Adit yang ama Liyan, sayangnya aditnya udah mati. =(
wah bagus ini bang haw, kenapa gak dijadikan buku saja ? :D
BalasHapusSaran mas Fan dari dulu ini melulu. moga ini bisa jadi pecut buatku. :ng
Hapus