“Kamu harus jaga keluargamu dengan baik, Pram. Untuk itu, kamu harus memastikan dirimu sehat sehingga bisa menjaga mereka.”
Aku mengiyakan kalimat ayah mertuaku yang mulai terdengar lemah dengan napas yang terengah-engah. Beliau menderita penyakit jantung. Sudah beberapa kali sakitnya itu kambuh, tapi tidak separah kali ini. Terlebih obat aspirin yang biasa digunakan untuk meringankan sakitnya malah hilang.
“Mencegah lebih baik daripada mengobati. Sakitku ini karena menganggap kekayaan bisa membeli semua obat dan membuat semua penyakit hilang. Pola hidupku jadi tak terkendali.”
Ayah mertuaku memang perokok berat. Beliau juga sering makan makanan berlemak. Sebelum diketahui mengidap sakit jantung, beliau sudah didiagnosis terkena diabetes dan darah tinggi. Kala itu beliau masih menganggap remeh, aku pun tak bisa sok mengingatkan karena dalam keluarga kami, beliau pemegang kuasa tertinggi.
Apalagi beliau sangat dihormati karena kekayaannya. Meski demikian, beliau tak pernah mau memberikan bantuan modal untuk usaha yang aku jalankan. Melatih mental dan merasakan perjuangan, katanya. Walau beberapa kali mengalami kebangkrutan, beliau hanya menertawakan kala aku ceritakan. Dan ternyata beliau memang memperlakukan keluarga lainnya demikian. Sehingga di kalangan sepupu, beliau dianggap orang yang pelit.
“Padahal aku paling tidak mempedulikanmu, Pram. Tak peduli aku kalo usahamu bangkrut. Namun, kamu malah jadi orang yang paling perhatian denganku. Lihat saja sekarang, hanya kamu yang rajin menjengukku. Selepas kematian istriku, tak pernah ada lagi yang mau berkunjung ke sini.”
Aku menenangkan beliau dan mengatakan bahwa pihak rumah sakit sudah menuju ke sini. Aku juga mengatakan bahwa anak-anaknya, Ramon dan Ratna, juga sudah kutelepon sejak tadi untuk membeli obat dan sedang menuju ke mari. Namun, sudah hampir dua jam tak ada satu pun dari mereka yang datang. Aku memaki kesal.
Aku menenangkan beliau dan mengatakan bahwa pihak rumah sakit sudah menuju ke sini. Aku juga mengatakan bahwa anak-anaknya, Ramon dan Ratna, juga sudah kutelepon sejak tadi untuk membeli obat dan sedang menuju ke mari. Namun, sudah hampir dua jam tak ada satu pun dari mereka yang datang. Aku memaki kesal.
“Sudah, Pram. Biarkan saja mereka. Aku sudah tidak kuat lagi. Kamu ambilkan surat wasiat di lemari itu. Dan tolong kamu urus semua usaha yang sudah kubangun. Kamu pasti bisa mengurusnya sendiri sepertiku.”
Ayah mertuaku lalu memberikan tanda tangan setelah menuliskan namaku di surat wasiatnya. Aku menenangkan beliau setelahnya sambil menyemangati bahwa mereka pasti tiba sebentar lagi. Namun, mereka tak kunjung juga datang hingga ayah mertuaku mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Mencegah… le..bih… ba..ik.. daripada.. me..ngobati.”
Memang benar kalimat beliau. Mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Makanya setelah membuang obat aspirinnya dan mencampur makanannya dengan obat pemicu jantung, aku membayar beberapa orang agar mencegah para keluarga yang akan datang mengobatinya kali ini. Dan lihatlah! Sekarang nasibku menjadi lebih baik.
Sumber gambar:
http://tokoalkes.com/blog/sakit-jantung-koroner
Wah, memfiksikan hidup lagi, nih. Gokil.
BalasHapusEntah kenapa, gua bisa menebak ending cerita ini di pertengahan. Mungkin karena keseringan baca bukunya Enny Arrow
Makanya lu bikin juga cerita2 fiksi lagi, Man.
HapusAhahah... emang mudah ketebak kayaknya kalo ini, Man. Sinetron abis. xD
Pram, yang kamu lakukan ke bapak mertuamu itu
BalasHapus.
.
.
JAHAT!
Padahal dia cuma menuruti kata pepatah~
HapusPram yang cerdik.
BalasHapusPatut dicontoh.
Hapus((( MENCEGAH )))
BalasHapusGue nggak fokus ke sana. Tadinya sempat ngira mau jadi kisah motivasi. Sikampret taunya dibelokin gini. Oke lah, Pram, kau luar binasa!
Ini memang kisah motivasi, Gip. Bahwa berpegang teguh pada nasihat itu benar kalo sedikit disiasati~
HapusAyah mertuaku kaya tapi tegaan tapi sakit-sakitan tapi apa lagi yah, mau gua buat judul sinetron FTV aja ckck
BalasHapusHartaku bukan hartalu sebelum jadi hartaku yg masih jadi harta mertuaku.
Hapus