“Tuh liat! Jejak sepatuku gambarnya bintang.”
“Punyaku bentuknya gambar bola, lebih keren.”
Di sekolahku, bentuk pamer-pameran saat ini berupa jejak sepatu. Saat jam istirahat, teman-temanku akan berkumpul di samping kelas yang areanya belum diberi perkerasan. Masih tanah. Bergantian mereka menjejakkan sepatunya. Sambil masing-masing beropini bahwa jejak sepatunyalah paling bagus.
“Apaan, punyamu cuma bergerigi dan garis-garis doang. Mending jadi ban sepeda aja, hahaha.”
Semakin unik bentuk jejaknya, semakin tinggi pula nilai kebanggaan yang didapat. Aku tak pernah mau ikut pamer-pameran jejak sepatu begitu walau sudah diajak.
“Ngapain ngajak dia, jejak sepatunya kayak papan. Rata. Hahaha.”
Aku memang sudah lama tidak membeli sepatu. Alasnya memang sudah hampir rata. Namun, bukan berarti nggak ada jejaknya, masih ada bekas garis dan bentuk buletannya. Kemarin malam saja kulihat jelas sekali jejak sepatuku itu di pipi ibu setelah bertengkar dengan ayah.
Wah kok sedih njir :((
BalasHapusLebih sedih kalo sepatunya baru. pasti bekasnya lebih dalem.
HapusAwalnya mau nebak nyeker, ternyata lebih mengejutkan. :(
BalasHapuskalo nyeker, nggak enak dijadiin fiksi. enaknya dimakan ama soto.
HapusAkhirnya ada fiksi lagi. Tapi surem ya, untung anaknya gak terinspirasi meninggalkan jejak di pipi temennya.
BalasHapusDalam dunia anak kecil, apa2 yang dilihatnya itu memang bisa jadi contoh, tapi kalo dia tau itu sakit, dia nggak akan melakukannya ke orang.
HapusSaya bukan pemuja kekerasan, tapi memukul anak dengan penyapu itu bolehlah sesekali. Karena dari 5 anak orang yang penyayang ynag pernah saya jumpai, lima-limanya pernah memukul orang lain dengan gagang penyapu karena menganggap itu tidak akan menyakiti orang. (ini OOT tapi emang lagi kesel ama anak yg demen banget mukul orang)
Ini kalau dilanjutkan kayak twistnya bakal si anak mendaratkan sepatu yang sama di pipi ayahnya pas dia besar nanti.
BalasHapusApa hak anda mengatur-atur tindakan si anak?
Hapussepatu cocok. jalanin aja dulu.
BalasHapus