Apa kalian pernah merasa kecewa? Sudah berusaha mati-matian sekuat tenaga, tapi semuanya nggak ada hasilnya. Terasa sia-sia. Bagaimana rasanya? Menyakitkan tentunya. Bahkan rasa sakitnya bisa berlangsung sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun. Belum lagi kalo kecewanya itu karena perbuatan orang lain.
1) Kecewa itu artinya pas di-translate |
Perasaan kecewa ini muncul karena apa yang dialami saat ini tidak sama dengan apa yang kita harapkan. Misalnya, kita dengan penuh harap akan disambut dengan senyuman manis orang yang kita suka saat membawakannya hadiah, eh, dianya malah mengomentari betapa nggak berharganya apa yang kita bawa tersebut. Ya, mungkin dia juga kecewa, sih, karena mengharapkan dikasih apa, malah dibawain yang lain.
Karena sakit yang dirasakan saat kecewa tersebut begitu menyesakkan, banyak orang yang akhirnya memilih untuk tidak berharap lagi. Ya, biar nggak kecewa. Makin tinggi harapan, kecewanya bakal makin besar, katanya. Lalu berkembanglah sikap “yaudahlah” dan “bodo amat” dalam menanggapi berbagai kejadian.
Yang religius menyarankan untuk berharap pada Tuhan saja
Berharap pada manusia hanya akan kecewa, tapi kalo berharap pada Tuhan, nggak. Begitu petuahnya. Ketika saya diberi saran begitu, saya bertanya balik, kok, bisa? Padahal, kan, saat berharap pada manusia dan berharap pada Tuhan, sama-sama nggak terkabul apa yang diharapkan kemarin.
Lalu dijelaskan, bahwa kalo itu tidak terkabul, berarti Tuhan menilai itu nggak baik buat kita saat ini, mungkin di hari nanti. Terus kenapa kita tidak berpikir begitu dengan manusia? Kenapa kita langsung merasa kecewa dan mengecap manusia yang kita harapkan sebelumnya itu hina?
Misalnya begini, saat kita lagi kepanasan di kosan, terus kita bilang pada teman kosan yang pergi keluar, beliin es teh. Pas datang, dia nggak beliin, entah karena lupa atau dia nggak nemu yang jual. Waktu mesen online juga gitu, pas sampe, es tehnya sudah jadi air teh. Nggak dingin lagi. Kemudian kita ngerasa kecewa.
2) Kenapa bisa, ya? |
Di lain hari, kita ngalami hal yang sama, kepanasan di kosan dan pengin minum es teh. Lalu kita pergi ke luar buat beli atau nungguin teman bawain, sambil berharap pada Tuhan kali ini bisa minum es teh. Eh, tetap nggak dapat juga, orangnya nggak jual dan nggak ada teman kosan baik yang bawain. Lalu kita bergumam, mungkin ini yang terbaik, kalo minum es teh, kali aja bakal sakit. Nggak ada kecewanya.
Padahal itu sama-sama nggak sesuai harapan, kenapa perlakuannya beda, sih?
Iya, oke, secara kedudukan memang nggak sama, satu manusia satunya lagi Sang Kuasa. Namun, fenomena ini kayak ama sesama karyawan atau bawahan kita bebas memaki, tapi kalo ama bos, ya, nggak bisa apa-apa. Selain membenarkan perkataan si bos. Kita Nerimo karena takut aja, kelihatannya.
Atau mungkin kecewanya kita pada manusia sebenarnya hanya menunjukkan kesombongan saja? Kita merasa superpower. Kalo kita yang di posisi orang yang kita harapkan itu, kita pasti akan bisa melakukannya sesuai harapan orang lain. Singkatnya, kita merasa lebih hebat dari manusia itu, kecewa, tapi kita juga nggak berani merasa lebih hebat dari Tuhan, nerimo aja. Ah, entahlah.
Perkataan dan takdir Tuhan itu nggak bisa kita dengar langsung, tapi kita bisa berasumsi bahwa yang nggak sesuai harapan ini baik. Sedangkan, perkataan dan alasan manusia yang kita harapkan itu tedengar jelas, tapi kita menghilangkan asumsi baik terhadapnya, saat tidak sesuai harapan. Malah memunculkan anggapan dia jahat, teledor, kita tidak dianggap penting, dan dugaan buruk lainnya. Kenapa bisa begini, ya?
Beberapa kali dan berhari-hari saya terpikirkan hal tersebut. Karena saya juga mengalaminya sendiri. Sama-sama nggak kewujud harapannya. Kok, ya, kalo pada Tuhan, yang saya sendiri juga nggak beneran tahu alasannya Dia apa, saya bisa berasumsi baik melulu. Mungkin ini yang terbaik. Ketika yang diharapkan itu manusia, anggapan yang muncul malah yang buruk-buruk. Ah, nggak bisa emang ngarepin orang lain.
Saya menyadari, ini bukan hanya perkara karena yang satunya Tuhan, satunya manusia. Melainkan juga, karena kadar harapan kitanya yang salah porsi. Saat berharap pada manusia, kita menganggap harapan itu akan terwujud seratus persen.
Beliin es teh, ya. Besok kita jalan-jalan, ya. Malam minggu kita nonton, ya. Semuanya itu diiringi keyakinan pasti bakal berjalan sesuai harapan. Ternyata nggak, lalu kecewa beratlah pada manusia. Namun, saat berharap pada Tuhan, kita masih menyisakan ruang penerimaan bahwa itu bisa saja nggak terjadi sesuai harapan. Makanya, di kepala kita masih dipenuhi dengan kalimat semoga-semoga. Sehingga, saat memang nggak kewujud, kita nggak kecewa.
Menusia itu ciptaan. Tuhan Maha Pencipta. Manusia itu kecil. Tuhan Maha Besar. Lalu kenapa berharap pada manusianya diiringi keyakinan pasti kewujud seratus persen dan pada Yang Maha Kuasa hanya lima puluh persen? Kan, kebalik.
Jadi, mulai sekarang, mari bereksperimen. Saat berharap pada manusia, jangan sampai totalitas berharapnya. Lima puluh persen saja. Kemudian saat berharap Pada Tuhan, berharapnya seratus persen. Apakah saat sama-sama nggak kecapai, bakal mengalami kekecewaan seperti sebelumnya pada manusia, dan apakah bakal tetap berprasangka baik pada Tuhan?
Coba bagiin hasil eksperimennya kalo sudah pernah ngalami sebelumnya.
*Padahal tadi niatnya bikin artikel 'kenapa memiliki ekspektasi tinggi itu nggak salah dan wajar'. Eh, malah kelamaan di bahasan ini. Yaudah, saya lanjut di pos selanjutnya saja biar nggak panjang-panjang amat.
Sumber gambar:
1) https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/disappointed
2) https://perkarahati.com/2018/07/23/berharap-pada-manusia-siaplah-kecewa/
3) https://www.liputan6.com/bola/read/3372102/ferdinand-kecewa-berat-lihat-permainan-mu
Hmmm. Saya kemarin sempat diskusi sama teman soal ekspektasi dan judging to someone. Terus saya berkesimpulan begini, Tuhan itu Maha Baik, jadi apapun yang Dia kasih udah pasti baik buat kita (manusia). Jadi bener yang kamu bilang kalo seharusnya kita punya ekspektasi 100% sama Tuhan.
BalasHapusDi sisi lain, saya pernah baca juga di caption salah satu selebgram yang dia bilang kalo dia cuma mencintai suaminya 50% aja. Alasannya karena keseimbangan berlogika. Jadi kalo ada suatu masalah di dalam hubungan, mereka nggak langsung jadi berantem karena bawa perasaan atau karena punya ekspektasi yang 100% itu.
Itu tadi contoh kurang nyambung sih. Tapi bagi saya ada benarnya kalo menaruh ekspektasi dan mencintai seseorang secukupnya aja. Yang lebih utama adalah Tuhan. Gitu kan ya, Bang Haw? Wkwk
Maap ini saya nulis komen apaan sih haha.
Nggak, sih. Saya cuma mau menanyakan lewat tulisan, dari mana asalnya kalian menyimpulkan bahwa Tuhan itu selalu memberi yg baik2? terus ketika dapat hal yg gak baik, malah menyalahkan makhluk lain. bukankah anggapan baik itu karena takut dituduh tak beriman saja?
Hapustentu bakal dijawab karena yg namanya Tuhan sudah pasti mengatur yg baik untuk hambanya.
lalu, untuk apa Tuhan memberikan manusia akal dan dibebaskannya mengatur bumi kalo semuanya masih aja perlu bantuan Tuhan? Tak bisakah kita jadi baik dan bernggapan baik pada semua orang atas kemauan diri sendiri?
karena pernyataan berharap pada manusia akan kecewa itu sudah menunjukkan kalo kita sudah tidak punya pikiran baik.
Hahaha anjir bener juga. Analogi bos dan sesama karyawan itu masuk banget, Haw. Aku jadinya heran dan ber-oh-iya-juga-ya kenapa kita berharap sama manusia itu seratus persen, kalau sama Tuhan malah lebih sedikit dari itu. Hmmm aku jadi mikir soal yang sesama karyawan itu, Haw. Karena sesama jadinya mindset-nya udah jangan lakukan apa yang kita nggak mau orang lakukan ke kita. Jadi kalau nggak mau dikecewakan, jangan ngecewain orang. Sayangnya nggak semua orang punya mindset kayak gitu dan mindset kayak gitu naif banget iya nggak sih.
BalasHapusOke aku coba deh sekarang terbalik. Berharap ke Tuhannya seratus persen. Sama manusia lima puluh persen. Berharap dengan berdoa lebih tekun sambil berusaha itu seratus persen nggak sih, Haw?
Iya, naif memang, karena kita tidak bisa mengatur cara berpikir dan tindakan orang. namun, kenapa kita juga sekalian sotoy tahu pikiran Tuhan? Tuhan memberi bencana, kita sebut cobaan, tapi kalo itu terjaid pada orang lain, disebut teguran. Seolah kita sudha tau klao Tuhan mencintai kita saja.
HapusSaat gagal, kita menganggap itu semua keputusan Tuhan yg baik. Seolah kita sudah pillow talk ama Tuhan secara gamblang. Kenapa tidak berpikir itu Tuhan lagi kesel ama kita karena kitanya males. padahal Tuhan bisa saja berpikir, "Kalo kamu mau kebaikanku, harusnya kamu gak gagal di situ"
Naaf kalo membingungkan, soalnya ini menggelitik di kepala, makanya saya tulis itu tag nya sebagai perusak akidah.
Widiiiw dlm banget ini pembahasannya seperti biasa, tp yg analogi alias pengandaian es teh bisa ternyata ya segitu kecewanya huaaha,
BalasHapusKlo berharapnya sama Alloh, aku mikirnya bukan perkara yaudahlah dg porsi negatif sih haw, tp lebih ke pasrah, uda usaha...tar silakan hasilnya terserah yang Maha Memberi akan memutuskan bahaimana
Klo yg harapan pada sesama manusia, memang bener tuh ga mau taruh 100 persen
Tp klo cuma 50 persen pas lg pengen2nya harapan itu kecapai, kyknya agak ngenes juga sih andai ga bisa kecapai *duh mbulet akutu
Ya kan kecewa itu kebanyakan karena dalam hal sepele pun orang yg diharapkan tetap gak mampu, Teh Nit.
Hapusbah, lalu kenapa kalo ke manusia malah kecewa, padahal itu manusia udah berusaha, tapi karena sebagai makhluk yg lemah, mudah lupa, gampang emosi, makanya gak bisa wujudin. Kok kita kecewa? bukankah kalo mau kecewa harusnya pada sesuatu yg hebat, tapi tak bisa mewujudkan.
#HawMerusakAkidah
Kalau yang gue lakukan sih.. kalau masih bisa gue lakukan sendiri kayak contohnya beli es teh, ya beli sendiri. Di rumah juga gitu. Enggak pernah nyuruh siapa pun untuk ngelakuin apa pun yang gue masih bisa: nyuci baju, nyuci piring, minta diambilin minum sama adek, dan semacamnya. Bukan karena takut dikecewakan, melainkan karena mikir kalau bisa gue lakuin sendiri kenapa harus berharap ke orang lain. Eh ini gak nyambung ya? Gak papa deh. Pengen bilang aja kalau selama masih bisa dilakukan sendiri, gak usah nyuruh orang lain. Ini juga terjadi pengulangan. Alasannya sama seperti mention gue di Twitter.
BalasHapuskan lagi bahas harepan ama orang lain, Bang. udah difokusin nih permasalahannya. :(
HapusWah wah wah tulisan propaganda ini. Harus segera dilaporkan ke Iksan.. *tuing ngilang
BalasHapusAnda benar syekali kalo ttg ini. huahahaha
HapusSaya berharap pada Tuhan dan pada diri saya sendiri, huhu
BalasHapusAnda bukannya punya orang dalem ya, Feb?
Hapus