Kecewa muncul karena adanya ekspektasi, begitu kata orang-orang. Makanya, kita sering sekali diingatkan untuk nggak memasang ekspektasi apa-apa. Namun, apa iya kita bisa menghilangkan ekspektasi pada semua hal? Karena berdasarkan pengalaman sendiri, nggak ada satu pun yang akan dilakukan tanpa sebuah ekspektasi.
1) Ekspektasi |
Mau mandi pagi saja sudah muncul berbagai ekspektasi, airnya penuh, ngalir, tinggal siram-siram sabunan, kelar. Laper, mau makan, saat akan makan atau beli juga sudah dijejali dengan macam-macam ekspektasi. Makanannya enak, mengenyangkan, murah. Mungut sampah di jalan juga diiringi ekspektasi akan membantu mengindahkan lingkungan, bukan?
“Bukan ekspektasinya yang salah, tapi ketinggian atau berlebihannya saat berekspektasi.”
Begitu bela mereka. Ekspektasi yang tinggi cenderung menyebabkan kecewa yang tinggi pula, dengan catatan kalo ekspektasinya nggak sesuai. Berarti, yang ditakuti saat berekspektasi tinggi itu, ya, nggak berjalan sesuai harapannya, kan? Takut pada kecewanya. Lalu menyalahkan sumber awalnya. Padahal bisa lebih difokuskan pada sikap menanggapi yang nggak sesuai ekspektasi tersebut.
Kita bisa berekspektasi tinggi karena sudah melakukan analisis atau kalkulasi
Iya, nggak, sih? Saya punya harapan besar pada timnas misal, karena sebelumnya saya melihat permainan mereka begitu solid. Atau seorang penjual daging sapi berekspektasi tinggi jualan daging sapinya akan untung besar di hari H-1 Idul Adha. Karena di tahun-tahun sebelumnya, dia melihat dan merasakan sendiri besarnya permintaan daging sapi di hari tersebut.
Kita tidak akan memiliki ekspektasi yang tinggi jika sebelumnya kita tidak mengetahui apa-apa tentangnya. Atau mungkin tahu, tapi dalam hal yang tidak baik. Apa pernah kita punya harapan yang begitu tinggi pada pemain sepak bola di sekolah yang sehari-harinya kita kenal sebagai tukang mabok? Apa pihak sekolah bisa meninggikan ekspektasinya saat mengirimkan siswanya mengikuti lomba olimpiade padahal siswa tersebut tidak punya prestasi apa-apa sebelumnya?
2) Sudah mengalkulasi dan persentasenya tinggi |
Punya ekspektasi tinggi itu logis. Nggak ada yang salah dengan hal tersebut. Jadi, kalo kita disuruh jangan punya ekspektasi tinggi mengenai hal yang kita tahu sangat baik, itu yang nggak masuk akal. Begitu takutnya pada kekecewaan, sehingga membuang harapan yang bisa memberi kegembiraan atau keseruan saat kita menjalani atau menyaksikan.
Karena rasa kecewa itu benar-benar menyakitkan dan membuat trauma
Begitu alasannya. Tentu saja kecewa itu menyakitkan. Namanya saja sedang ngalami ketidaksesuaian harapan. Namun, apa karena ada kecewa yang membayangi lalu kita tidak mau berekspektasi lagi? Katanya kita harus punya mimpi yang besar, punya harapan dalam hidup dan juga tindakan untuk mewujudkan.
Padahal untuk mendapatkan sesuatu yang besar, kita juga harus siap dengan risiko dan halangan yang besar pula. Kalo kita tidak merasakan kecewa saat mimpi tersebut gagal digapai, bukankah itu artinya usaha dan mimpi kita tidak besar sama sekali? Kalo sampai takut dengan rasa kecewa, bukankah kita sudah menumbangkan diri sendiri sebelum semuanya terjadi?
Baca juga: Kenapa Berharap Pada Manusia Bikin Kecewa?
Baca juga: Kenapa Berharap Pada Manusia Bikin Kecewa?
Sekali lagi, kita bisa berekspektasi tinggi karena kita sudah melakukan kalkulasi. Itu berarti, kita juga sudah mengetahui kalo ada kemungkinan lainnya. Misal ekspektasi kita berhasil itu 90%, berarti 10% sisanya itu masih berkemungkinan gagal. Walo kemungkinannya kecil, kita tetap memperhitungkannya, kan~
Berarti, saat berekspektasi, kita juga dipersilakan untuk mengantisipasi
Kalo kita punya ekspektasi tinggi, keyakinan dan cinta yang besar, tentunya kita harus mengesampingkan ketakutan akan rasa kecewa tadi. Karena kalo tindakan kita dibayangi ketakutan, yang ada kita melakukannya nggak ikhlas dan nggak totalitas. Kita melakukannya setengah-setengah, yang penting diri sendiri nggak sakit. Lalu yang begitu mau hasil yang tinggi?
Berekspektasi tinggi, bukan berarti kita membuang semua kemungkinan buruknya. Melainkan, persentase mendapatkan hasil yang sesuai harapannya jauh lebih meyakinkan. Bagi orang-orang yang siap pada semua kemungkinan, mereka biasanya akan menyiapkan antisipasi. Kalo ternyata ada faktor kecil yang dapat mengubah hasilnya, apa yang harus dilakukan?
3) Sudah mengantisipasi |
Kita lebih megenal antisipasi sebagai tindakan pencegahan agar rencana kita tetap sesuai harapan. Padahal, antisipasi juga berarti menyiapkan mental kita terhadap peristiwa yang akan terjadi. Terutama kalo yang terjadi itu tidak seperti yang diharapkan. Memilih untuk tetap tenang, menangis, pasrah, atau mengutuk saat mengalami kegagalan itu juga bentuk antisipasi. Lalu dari banyaknya pilihan antisipasi saat kita berekspektasi, kenapa banyak yang sepakat untuk tak mau memiliki ekspektasi lagi dan memilih hidup berteman dengan ketakutan rasa kecewa?
Ada kalkulasi. Persentase berhasilnya lebih tinggi. Tetap berantisipasi. Berekspektasi tinggi. Bakal lebih termotivasi.
Dari itu, mari berekspektasi agar berani dan totalitas dalam melakukan suatu usaha
Karena secara umum, kita baru akan berani dan semangat untuk maju atau bertindak, ketika kita bisa melihat ada harapan besar di sana. Misalnya bagi pelaku perdagangan. Secara ilmu ekonomi, kalo pasarnya jelas, permintaan konsumennya tinggi, ekspektasi mereka juga makin tinggi, dong, akan laku keras. Sehingga, mereka bisa sangat yakin dalam membelanjakan modal untuk produksinya.
Sedangkan, kalo kita nggak mau berekspektasi apa-apa, mau ngelakuinnya pun kita bakal ogah-ogahan. Kalah ama anak kecil yang punya ekspektasi tinggi, bersemangat disuruh emaknya beliin terasi, karena bakal dapat uang kembalian yang bisa dibeliin chiki. Kok, bisa, sih ngejalani hari-hari tanpa memiliki motivasi dan harapan dalam diri? Padahal, kalo kita nggak punya ekspektasi, kita bisa cenderung menyakiti.
Niat awalnya memang tak mau kecewa disakiti, makanya tak mau berekspektasi tinggi. Namun, yang sering terjadi, saat kita bertindak tanpa ekspektasi, orang lainlah yang kena imbas dan kita jadi makin sering menyakiti. Misalnya pada fenomena hubungan asmara manusia yang serba ribet, rumit dengan masalah dari arah kanan dan kiri.
Kalo kita punya ekspektasi atau harapan bahwa dia juga bakal balas mencintai, kita jadi makin termotivasi. Saat sudah bersama pun, kita tetap berusaha menjaganya. Sebab, ada keyakinan dan ekspektasi tinggi bahwa dia juga akan menyayangi kita. Namun, kalo kita tak punya ekspektasi bahwa dia akan membalas cinta kita, semua tindakan kita penuh kepasrahan. Disukai balik, ya, bagus. Nggak pun, ya, nggak apa-apa.
Ternyata dia beneran menyukai balik. Seneng, dong, tapi karena tak punya ekspektasi bahwa kalian akan bersama terus-terusan, dalam menjalin hubungannya, kamu bersikap setengah hati. Terus dengan sikap setengah hati begitu kita mencibir kala dia memutuskan untuk pergi? Kalo kata Mbak Suhay, “Dipake ininya, dipake, dipake,” sambil nunjuk kepala.
Saat orang lain mengatakan bahwa dia menyukai kita sebegitu besarnya, kita hanya tersenyum saja. Menghilangkan ekspektasi dan menganggap ucapannya itu hanya basa-basi. Usaha yang dilakukannya nggak pernah kita seriusi. Kan, dia jadi mikir kita hanya main hati. Pasti dia kesal dan lagi-lagi bakal pergi.
4) "Inilah anak usia 20-an, otaknya itu belum kebentuk." |
Kalo kita nggak punya ekspektasi, kita bakal lebih bebas memang dalam mengatur perasaan. Nggak mudah kecewa. Namun, karena itu pulalah kita jadi cenderung tak punya hati. Sudah menikah pun, tetap tak mau berekspektasi bakal langgeng sehidup semati. Jadinya, mudah menggampangkan semua urusan hati. Udah nggak bisa ngerasa kecewa, jadi kalo mau selingkuh, yang jelas itu bakal menyakiti, bakal ngerasa tenang-tenang aja. Dia pergi, yaudah, cari pengganti.
Jadi, bukankah lebih baik kita punya ekspektasi yang tinggi?
Selama kita sudah melakukan kalkulasi dan juga mengantisipasi, ketakutan akan kecewa itu sudah nggak seseram itu lagi. Saat mencari pasangan, kita sudah memperhatikan bahwa yang baik itu biasanya yang anak ini dan sifatnya begini. Yaudah, langsung aja dekati. Jangan malah memilih yang sebaliknya, karena takut ketipu dan disakiti.
Seperti seorang perempuan yang memilih badboy karena kalo memilih yang goodboy, eh, nggak taunya bejat, bakal kecewa dan jadi sakit hati. Sedangkan kalo milih badboy, udah nggak masang ekspektasi, tapi ternyata dia memperlakukannya dengan baik, dianggap semacam nemu rejeki. YANG BEGITU MAH JUDIIII. Tew~
Baca juga: Mau Membuat Orang Bahagia? Tetaplah Rusak!
Baca juga: Mau Membuat Orang Bahagia? Tetaplah Rusak!
Begini, ya, pernah kan milih buah-buahan yang bagus? Kita lihat dari warnanya, aromanya, ama kelembutan kulitnya. Setelah menyesuaikan dan menyamakan dengan ciri-ciri buah yang bagus secara umum, kita ambil buah tadi. Pas dimakan, beneran bagus. Namun, nggak menutup kemungkinan, dong, kalo dari ciri-ciri tersebut tetap bakal dapat yang asem atau busuk di dalam. Itu hal yang lumrah.
Begitu juga saat melihat sikap manusia, walo kita sudah mencocokkan dengan ciri-ciri manusia yang baik, bisa saja dalemnya busuk. Namun, yang jelas, ciri-ciri baik tersebut sudah terbukti banyak benarnya. Makanya jadi pedoman, kan.
Nah, sekarang tolong jelaskan pada saya, di mana logikanya, sejak awal memang mencari buah bagus, tapi mencarinya di tumpukan buah yang terlihat busuk. Berharap apa sebenarnya dari buah yang sudah jelas busuk tersebut? Berharap dapat buah yang rasanya bagus? Itu bakal terjadi kalo buah bagusnya kelewatan pas dipilah saja.
Demi nggak sakit hati, demi ngga ketipu penampilan, kalian sejak awal memutuskan memilih yang udah terlihat busuknya?
Inilah pentingnya punya ekspektasi. Biar ininya dipake dipake dipake. *nunjuk-nunjuk kepala
Sumber gambar:
1) https://chantellglenville.com/the-problem-of-expectations/
2) http://situspasaranbola.com/tag/cara-menghitung-peluang/
3) https://www.artofmanliness.com/articles/the-art-of-anticipation/
4) https://www.youtube.com/watch?v=A-A95vUK0y4&t=13s
4) https://www.youtube.com/watch?v=A-A95vUK0y4&t=13s
Yap, sebelum memasang harapan tinggi, kita sebaiknya sudah memperhitungkannya dulu. Misalnya, saat saya mengikuti kuis, entah itu di blog ataupun media sosial. Saya lihat para peserta yang ikutan. Apakah jawabannya atau tulisannya bagus-bagus? Jika saya anggap masih biasa, belum ada yang layak sebagai pemenang, saya mencoba berpartisipasi dalam tiga hari terakhir. Saya berekspektasi bisalah masuk tiga besar. Saya yakin banget menang. Ternyata harapan saya terwujud, berhasil menang, bahkan juara satu.
BalasHapusTapi itu yang penyelenggaranya komunitas dan orang pribadi. Semaksimal hadiahnya mentok 500 ribu. Belum menyentuh jutaan. Jika sudah media besar, hadiahnya jutaan, ponsel, laptop, dst. saya entah kenapa kecewa terus biarpun sudah kalkulasi bakalan menang juga sebab telah saya kerahkan kemampuan semaksimal mungkin.
Itu akan selalu menjadi pertanyaan besar di kepala. Apakah emang bukan rezeki saya? Apakah ada sistem penilaian yang belum saya pahami? Atau justru dicurangi?
Mungkin karena ada perhitungan trafiknya, yang mana konten di blog saya jarang banget menerapkan SEO. Atau pemenangnya sudah diatur buat orang dalam saja. Tapi itu jelaslah suatu tuduhan. Bisa jadi karena saya juga cuma ketergantungan sama teks, terlalu saya mengandalkan cerita, sementara peserta lain menyiasati kelemahan teks dengan gambar macam potret bagus atau infografis.
Buat yang hubungan, saya termasuk orang yang mungkin jarang menuntut balik buat disukai atau dicintai. Begitu menjalin hubungan, saya juga berpikir risiko-risikonya. Belum tentu bakal sama dia terus, walaupun jauh di lubuk hati menginginkannya. Harapan jelas ada, tapi mungkin tak pernah memasang yang terlalu tinggi lagi. Sebab dari yang sudah-sudah, ketika kelak berharap dialah "orangnya" atau "jodohnya", merencanakan bakal nikah sama dia, kenyataan atau takdir selalu menjotos saya sedemikian keras hingga capek buat berharap yang muluk-muluk. Terus pengalaman saya yang beberapa kali diselingkuhi atau dia memilih pergi lantaran merasa enggak cocok lagi, pada akhirnya bikin saya peka dengan tanda-tanda bakal patah hati. Entah ini firasat saya yang sering benar, atau saya yang mulai malas buat memperjuangkan lagi, lalu jadinya bersiap-siap buat ikhlas ketika dalam fase hubungan berada di ujung tanduk. Saya sampai sejauh ini terus berpikir saat hubungan kritis berarti enggak akan tertolong lagi. Tapi semoga suatu hari saya bisa lebih optimis memandang hubungan. Bahwa segawat apa pun masalah saya dan pasangan, bisa terselesaikan dan kami dapat berbaikan lagi selayaknya anak kecil yang hari ini marah, besok sudah kembali rukun.
Terlepas dari soal itu, ada bagian yang saya renungkan tentang ekspektasi ini mesti berubah mengikuti kondisinya. Sebagian orang sering bilang sikap pasangan sebelum jadian atau masa pdkt atau awal pacaran selalu lebih manis daripada setelah hubungan berusia tahunan. Jika patokannya cuma sikap manis yang sama setiap saat, jelas sulit buat mempertahankannya. Ada beberapa orang yang mungkin juga berpikir kalau memberikan perlakuan spesial mendingan di momen tertentu, seperti hari ulang tahun, perayaan hari jadi, atau apalah. Jika dilakukan setiap hari, bisa aja kehilangan daya magisnya.
Namun, bukan itu yang saya maksud. Ekspektasi sama pasangan kan bisa bertumbuh menjadi: sekalipun dia udah jarang bersikap manis sama saya sebagaimana awal-awal, yang penting dia bisa tetap bertahan sama hubungan ini dan memilih menetap. Mungkin karena kami bukan anak kuliahan lagi yang bebannya belum banyak. Sekarang ada tanggung jawab lain yang perlu diurus. Dia juga punya fokus lain yang perlu dibagi. Kehidupannya bukan tentang saya melulu. Dia perlu mengurus karier, keluarganya, dan beberapa hal buat masa depan kami nantinya.
Jadi ya buat yang masih drama soal pengin diperlalukan manis terus, apakah harapannya sama pasangan cuma mau bermanis-manisan, bermesra-mesraan bagaikan romansa remaja SMA?
Aduh, saya ngetik apa ini. Sepertinya butuh tidur.
Yoga, kamu lebih baik bikin postingan sendiri aja. Panjanh bener ini yalord~
HapusWOEEEEE bikin postingan blog sendiri aja anjir
HapusYog, udah kecewa aja. sedih gitu. salah satu bagian menghargai ekspektasi juga kok sedih itu. karena udh berjaung dengan sangat baik. Cuma, kita tetap gak bisa mengalkulasi penilaian orang kan. ada poin penilaian yg gak kita tau. makanya kalkulasi yg kamu lakukan itu nggak bisa bertemu angka yang benar. jadi meski udh dirasa maksimal, bisa saja secara penilaian org itu hanya 50%.
Hapustentang yang hubungan, sebelumnya juga udah kutulis, kan, kalo udha makin ribet dan makin susah bikin yg manis2 itu pertanda ada kemajuan dan kedkatan dalam hubungannya, hanya perlu dibiasakan dulu. Keseringan, org emang enggan untuk terbiasa dgn hal tersebut, makanya menuntut.
saya cukup sepakat denganmu, bahwa sikap manis itu nggak bisa terus2an, tapi bukan berarti harus ditiadakan. Kita pribadi memang punya urusan maisng2 dengan kehidupan, tapi bukan berarti juga membebaskan dan melepaskan. maksudnya, walo sibuk pun, rutinkan lah untuk tetap berhubungan. di luar kerutinan tersebut, lakukan kejutan untuk bertemu. cuma ya yg paling mesti diinget, kita memang tidak bisa mengatur sikap manusia, sehingga walo sudha kita usahakan, dia bisa berbuat sebaliknya dari yg kita harapkan.
penekanan saya di artikel ini adalah, ekspektasi itu bisa membuat orang lebih peduli dan semangat menjalani entah apa pun itu. tanpa ada ekspektasi, kita hanya yaudah yaudah mulu dengan semuanya.
Ekspektasi. Kata yang belakangan bikin saya merenungi banyak hal. Saya tipe yang suka berkhayal alias kalo punya keinginan itu seringnya ketinggian, tapi ya nggak jarang kejadian juga. Dulu, saya sering berekspektasi soal kerjaan. Bahkan belom jadi pegawai di suatu kantor aja saya udah bayangin jauh banget. Kalo kerja disana saya bakal gimana, main kemana, masa depan bagaimana. Intinya jauh banget lah pokoknya.
BalasHapusTerus, belakangan saya merasa pelan-pelan menurunkan ekspektasi saya terhadap sesuatu. Ya benar, karena nggak sanggup sama kecewanya. Udah berharap banget kan, tapi ternyata nggak kejadian. Sedih dan kecewa. Jadilah sikap pasrah aja gitu, mau diterima ya syukur, enggak yaudah cari yang lain. Jadi tiap kali apply kerjaan, saya udah nggak lagi ngebayangin hal hal yang jauh belum terjadi wkwk. Aneh banget emang ini.
Soal asmara... hubungan saya yang terakhir dengan seseorang dimulai tanpa ekspektasi. Saya suka dia, tapi kalo dia ga suka sama saya ya gapapa. Kalo emang dia suka, ya bagus. Tapi karena tanpa ekspektasi ini juga saya jadi mikir, buat apa saya kasih effort yang besar buat hubungan itu bahkan ketika dua orang di dalamnya sama-sama tidak memiliki ekpektasi tinggi buat menjaga hubungan itu?
Seiring berjalannya waktu, meski di awal saya berusaha menahan diri tanpa ekspektasi tinggi, pelan-pelan saya menaruh juga ekspektasi itu sama pasangan saya. Sayangnya, kenyataan nggak berbanding lurus sama ekspektasi saya. Kecewa? Jelas dong. Tapi yaudahlah ya. Langkah selanjutnya hanya perlu mengikhlaskan dan mencoba jalan lain yang berbeda.
Kalo soal pasang ekpektasi tinggi, sebenernya saya pikir gapapa juga sih. Yang penting siap untuk segala risikonya kan ya?
Maap kenapa ini jadi panjang juga komennya hmmm. Mana gatau nulis apaan :(
Ya begitu, hidup pasrah2an aja. Berserah diri emang baik, tapi itu di urutan terakhir, bukan suatu pilihan. urutan di depannya, ya berusaha, nah untuk mau berusaha lebih ini, makanya kita pelru suatu ekspektasi.
Hapuskalo itu hubungannya dengan seorang blogger, maaf, kami, khususnya saya, malah melihat kamu melakukan ekspektasi yang yang berlebih tanpa kalkulasi. Belum mengenal orangnya dengan baik, tapi bersikap seperti "seseorang yg jodohnya tergarisi". tapi itu sepertinya sudah paham sih, sama2 nggak punya ekspektasi untuk bersama, lalu kenapa bisa disebut itu sebagai hubungan asmara. (kami tidak tahu apa-apa di balik layarnya).
Kalo sampai ada risiko yang tinggi, ya itu juga ekspektasi sih, cuma tanpa dibarengi kalkulasi. hanya semacam anak kecil yg langsung mencoba sepeda dan berekspektasi bisa dan gampang.
Tingkat paling tinggi dalam ekspektasi itu, ya, kita merasa sudah tak perlu memikirkannya lagi. kayak kalo disuruh mandi, kita tinggal mandi. udha melewati pengalaman sama berkali-kali.
Asiik masnya suka nonton suhay salim juga nih. Menurut saya sih sebenarnya bukan ekspetasinya yang harus dikelola. Tapi rasa kecewanya itu lhoooo, gimana caranya biar bisa berteman dengan rasa kecewa. Karena ekspetasi walau sudah dikalkulasi tetap bisa meleset juga khaaaan :D
BalasHapusya kalkulasi itu bukan biar seratus persen berhasil sih. hanya membesar persentase berhasilnya. Masa iya berekspektasi pada sesuatu yang kemungkinan lancarnya kecil, misal mau naik sepeda ke sekolah yg jauh tapi rantai sepedanya hampir putus.
Hapusdan iya, menyikapi hasil yg tak diharapkannya itu yg penting. karna kalo nggak berekspektasi tapi tetap dapat hal yg gak diharapkan, pilihannya hanya marah marah dan marah.
Jangan berekspektasi terlalu tinggi, hidup mengalir tapi tetap pada tujuan2 yang besar...
BalasHapussama kayak anda, apa yg anda ekspektasikan dari berkomentar tanpa baca isinya.
HapusKalau gue sih, Haw, sebenarnya lebih ke realistis. Kalau setelah gue kalkulasi dan gue merasa hal itu mungkin untuk gue raih, gue akan memasang ekspektasi setinggi mungkin. Kalau setelah diukur dan ternyata enggak, ya tetap dimasukkan ke daftar tapi gak jadi prioritas. Btw gue mau ngomong banyak tapi kesal duluan baca komennya Yoga. Jadi segini aja deh. Mau gue slengkat kakinya tuh anak hahaha
BalasHapusItu poin dari artikel ini, bang. :( tolong siapa pun yang baca, sekalian baca komentarnya Firman ini, ringkasnya itu begitu.
HapusKita bisa berekspektasi karena kita memang merasa itu bisa diraih, perkara haisl yg gak sesuai, itu urusan menajemen emosi. karna kalo gak berekspektasi tapi hasilnya jelek bagi kita, yg ada kita cuma ngerasa mau marah.
yoga selain gemar membaca, juga gemar menulis mencurahkan isi hati dan pikiran.
Terima kasih bang, semangat terus :)
BalasHapusCokelat strawberrynya minta diisi itu Chi. Dia iri karena penulisnya bisa membuat antologi, tapi tempat awal dia belajar menyuarakan tulisannya malah ditinggalkan.
Hapus