Kalo memperhatikan tren nama makanan saat ini, kita akan menemukan banyak nama makanan/minuman yang berupa akronim. Baso setan (selera tantangan), setan (susu stroberi alpukat ketan), jasuke (jagung susu keju), nurdin (nutrisari dingin), mie goreng tante (tanpa telur), internet (indomie telur kornet), sukarno (susu avocado rasa cappucino) dan masih banyak lainnya.
1) Akronim menu Bakmi Janda |
Mungkin tujuannya agar terlihat lucu, keren atau unik. Sehingga orang jadi penasaran dan tertarik untuk membeli. Namun, tren ini ternyata memiliki efek yang nggak baik juga. Karena membuat remaja masa kini jadi latah untuk mengulik semua kuliner tradisional dan menganggapnya sebagai akronim, serta menafsirkannya secara suka-suka.
Kenapa saya sebut nggak baik? Karena hal tersebut akan mengubah sejarah penamaan nama makanannya. Sehingga informasi yang banyak beredar dan dipercayai nantinya akan berupa informasi palsu. Mungkin ini terlihat lebay, tapi kehilangan identitas diri itu benar-benar bisa merepotkan ke depannya.
Apalagi kalo hal tersebut berkaitan dengan identitas bangsa. Jika informasi tentang nama makanan yang beredar tersebut menggunakan akronim yang dibentuk di masa kini, maka selanjutnya, makanan terkait akan dianggap muncul di tahun yang sama dengan tahun ngetrennya bahasa akronim yang digunakan.
Akibatnya apa? kalo ada bangsa lain yang memiliki kuliner sejenis, dan namanya terdengar lebih lama secara tata bahasa di negaranya, mereka bisa mengklaim kuliner tersebut sebagai milik mereka. Mau kejadian begitu?
Nggak hanya di dunia kuliner, akronim suka-suka yang dibuat oleh orang masa kini juga mencakup di bidang lalu lintas. Saya yakin, banyak orang yang menganggap bahwa “tilang” itu adalah akronim dari “tindakan langsung”. Padahal semestinya, kan, “bukti pelanggaran”. Hal seperti ini yang harus kita waspadai.
Namun, kenapa, sih, orang suka membuat singkatan dan akronim?
Kita perjelas dulu bedanya singkatan dan akronim, kali, ya? Akronim adalah gabungan huruf atau suku kata yang bisa dilafalkan secara wajar. Sedangkan singkatan, tidak perlu diperlakukan/dilafalkan sebagai suatu kata. Contoh akronim selain nama kuliner di atas, ada juga IKIP, IPA, Monas, cerpen (kita bisa melafalkan sebagai kata). Contoh singkatan itu seperti TVRI, DPR, UUD (baca hurufnya harus satu-satu), nggak boleh kita baca UUD sebagai “uud”, entar terdengar kayak nama penyanyi dangdut. Uud Permatasari.
Tujuan awal orang melakukan penyingkatan adalah untuk mempermudah komunikasi atau penyampaian informasi. Misalnya saya dulu pernah menulis tentang “sekantung rambutan yang telah membuat ane sakit perut bolak-balik ke kamar mandi”. Kalo di sepanjang postingan saya harus mengulang kalimat tersebut berkali-kali, kan, merepotkan, ya. Makanya saya singkat menjadi SRYTMASPBBKKM. Lebih gampang dibaca, kan~ *smirk
2) Kenapa nyebut-nyebut nama saya, Bang? |
Oke, itu becanda. Namun, penggunaan singkatan ini memang memudahkan dalam penyampaian berita atau sebagai nama badan organisasi. Masalahnya, ada masa di mana generasinya sangat suka membuat singkatan dan akronim dari berbagai hal yang sudah ada (istilahnya: kerata basa) sebagai ajang keren-kerenan.
Gelombang generasi 90-an yang demen ngisi biodata
…di buku diary orang lain. Di tahun sebelumnya, orang membuat akronim dan singkatan masih menggunakan pakem “biar mudah” dan tetap patuh dengan pola pembentukan akronim atau singkatan secara EYD. Namun, remaja di generasi ini melakukan sebaliknya. Frasa atau kata yang sebenarnya bukan merupakan singkatan dan akronim, secara suka-suka mereka bikin makna panjangnya. Biar keren.
Masih ingat, dong, dengan singkatan kata SLANK (Sudah Lama Aku Naksir Kamu), ARDATH (Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil), KANSAS (Kami Anak Nakal Suatu saat Akan Sadar), CINTA (Ciuman Itu Najis Tapi Asyik), Matematika (makin tekun makin tidak karuan), WANITA
( Waktu Ayah Niduri Ibu Terciptalah Aku), LUPUS (Lupakan Urusan Pacaran Utamakan
Sekolah), Titi Sandora (hati-hati pesan dari orangtua), Setia (selingkuh tiada akhir) atau Sakau (sakit karena engkau).
Kerjaannya remaja 90-an itu. Pokoknya nulis kata tersebut di akhir biodata setelah mengisi mafa (makanan favorit) dan mifa (minuman favorit), berasa udah keren parah lah. Tindakan yang dianggap keren atau lucu-lucuan tersebut, ternyata terus terjaga hingga kini.
3) Ngisi diary teman dengan biodata diri, karena dulu belum ada album tahunan |
Ditambah lagi gelombang Sundanisasi
Orang Sunda, menurut saya, sangat suka membuat akronim. Sesekali saya pernah mendengar mereka bilang hanupis setelah saya membantunya. Hanupis, hatur nuhun pisan. Di dunia kuliner, akronim yang mereka buat jauh lebih banyak lagi. Walo demikian, mereka tetap patuh dengan pola penyingkatan EYD dan fokus pada penekanan cara memasak, nama bahan yang digunakan, serta cara menikmatinya.
Pola penyingkatan atau akronim haruslah dibentuk dari huruf pertama atau suku kata dari unsur yang dimasukkan (bisa suku kata depan, tengah, atau belakang). Juga nggak asal-asalan yang penting ada salah satu huruf yang mewakili saja. Kayak pemda (pemerintah daerah) itu boleh. Rebahan (rela bertahan tanpa sebuah kepastian), itu sangat tidak disarankan.
Untuk kuliner khas Sunda, kita bisa ambil contoh klan “Aci-ha”. Cimol (aci digemol), cireng (aci digoreng), cilor (aci telor), cipuk (aci kerupuk), atau cilok (aci dicolok). Ada juga batagor (baso tahu goreng), misro (amis di jero/manis di dalam), comro (oncom di jero), dan masih banyak yang lainnya.
4) Kuliner klan Aci-ha dan klan lainnya asal tanah Sunda |
Karna ngetren dan banyak dipakai di makanan kekinian…
Sasaran berikutnya adalah kuliner tradisional. Seolah orang-orang ini nggak puas kalo hanya menyingkat nama makanan yang panjang. Mereka juga mau memperpanjang nama makanan yang singkat dan menganggap bahwa nama makanan tersebut berupa akronim. Berikut korban-korbannya.
- Perkedel
5) Frikadel |
- Kue Putu
Mereka bilang itu singkatan dari Pedagang Umum Tenaga Uap. Heh? Ini beneran parah, sih. Karena bangsa Indonesia baru akrab dengan kata “tenaga uap” dan “umum” itu di zaman modern. Padahal kue putu sudah ada jauh sebelum itu. Di Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 di masa kerajaan Mataram, kue putu atau puthu diceritakan sudah ada puluhan tahun sebelumnya. Di beberapa daerah lainnya, kue ini memiliki nama lengkap “putu buluh”.
6) Kue putu buluh |
- Es Doger
Es dorong gerobak. Saya dulu mengira ini benar. Namun, menelisik sejarahnya yang simpang siur, saya meragukan akronim ini. Es doger, bacanya “do-ger” e-nya kayak nyebut ember. Lalu, kenapa jadinya gerobak? Kan, penyebutan huruf “e” pada gerobak sama dengan penyebutan “e” pada peluk. Akronim tersebut baru bisa benar kalo es ini berasal dari Medan.
Lagi pula, yang jualan sambil dorong gerobak itu nggak hanya penjual es doger. Siomay juga, baso juga, es orson juga, es campur juga pake gerobak jualnya. Namun, nggak ada yang nyebut mereka menggunakan imbuhan kata doger, semisal baso doger.
7) Es Doger |
Update:
Asal daerah dari es doger ini beneran dari Sunda. Dinamai es doger karena es yang disajikan tersebut memiliki bermacam warna yang warnanya mirip dengan pakaian penari doger. Ditambah pula karena es doger ini selalu disajikan saat ada pertunjukan tari doger, maka jadilah dinamai es tersebut sebagai es doger. Bukan karena singkatan. Sebab awalnya pun nggak dijual di gerobak.
- Ketoprak
Ketupat toge digeprak. Ketupat dan togenya saya nggak masalah, walo toge lebih dikonotasikan ke toket gede. Saya nggak masalah dengan itu. Namun, kata kerja digeprak ini benar-benar tidak menggambarkan proses pembuatannya. Digeprak itu, secara gambaran, memukul menggunakan tenaga yang banyak. Memasak dengan cara “menggeprak” hanya optimal jika dilakukan untuk mengolah bawang, jahe, atau serai.
Ketoprak, bahan-bahannya, kan, dicampur dengan cara diulek/diaduk-aduk. Kalo sampai membuatnya pake acara “digeprak”, hancur itu alas piring atau cobeknya. Kalo memang mereka mau mengutamakan bahan dan cara mengolah sebagai nama, mestinya bisa memilih kata “ketolek” (ketupat toge ulek) atau “ketocang” (ketupat toge kacang).
8) Ketoprak Jakarta |
Update:
Berdasarkan catatan yang disimpan oleh perpusnas, nama ketoprak ternyata berasal dari panggilan pembeli kepada penjualnya. Saat itu ketoprak dijajakan menggunakan pikulan, penjualnya adalah mantan pemain kesenian ketoprak yang terkenal. Karena memang makanan tersebut dulunya belum ada namanya, jadilah orang yang mau membeli tersebut memanggilnya dengan, "Bang Ketoprak, saya mau beli, Bang."
Panggilan itu dilakukan oleh semua pembelinya. Sejak itulah, makanan yang terbuat dari tahu goreng, ketupat, dan berbumbu kacang itu dinamai ketoprak.
- Cuanki
Akronim makanan ini yang membuat saya gedeg banget. Cari uang jalan kaki, katanya. Nggak menunjukkan apa makanannya sama sekali. Pengamen juga jalan kaki cari uang, hei. Itu tukang jual jamu juga jalan kaki gendong jamunya. Juga itu, penjual es doger tadi itu, dia juga jalan kaki cari uang melalui jualannya. Yang paling beneran jalan kaki cari uang dan gak ada jualannya, ya, odong-odong. Kenapa nggak diberi nama boneka cuanki saja?
Dari pelafalan namanya saja, kata cuanki atau cuankie itu terdengar seperti pelafalan orang Chinese. Kalo memang beneran mau mengulik asal nama kuliner ini, harusnya yang dilakukan itu, ya, mencari sumber orang pertama yang menjualnya. Asalnya dari Bandung, dibuat pertama kali oleh orang Tionghoa, dirintis tahun 1970-an di daerah Cibadak. Identifikasi juga perihal tanda warna tulisannya (merah, kuning, hijau), karena saya melihat ada pola khusus tentang asal penjualnya berdasarkan warna tulisan cuanki di pikulannya.
9) Pedagang cuanki aliran tulisan merah, biasanya berasal dari Purbalingga |
Kesimpulannya
Jangan suka asal-asalan dalam menerjemahkan nama suatu makanan. Karena saya melihat, sudah banyak sekali yang percaya dengan penamaan asal leluconan seperti tadi. Media juga asal menyebarkan saja bacotan lelucon akronim tersebut, tanpa mau mengulik lebih dalam sejarahnya. Kuliner itu bisa jadi identitas kekayaan bangsa. Kalo kita nggak bisa menjaganya dengan baik, nggak mau mendalami sejarahnya, paling tidak, jangan merusak identitasnya.
Udah kepanjangn, ya, ini. Yasudah, sekian dulu bahasan tentang akronim nama makanannya. Kalo suka dengan kuliner tersebut, kenali lebih dalam. Bukannya membuatkan julukan yang merusak dirinya. Apa kalo suka sama orang, kalian juga melakukan hal itu? Lebih suka merusaknya daripada mengenalnya lebih dalam?
Pantun:
Pantun:
Hujan
debu di Jawa Barat
Hujan
gerimis di Jawa Timur
Kalau
rindu kirimlah surat
Jangan
menangis di tempat tidur
Jalan-jalan
ke Pulau Seribu
Sungguh
indah si Pulau Karang
Sungguh
malang nasib diriku
Punya
pacar diambil orang
N: Negara
A: Akan
R: Runtuh
K: Kalau
O: Orang
T: Tidak
I: Ingat
K: Kepada
A: Allah
H: Hawadis namanya
A: Agak rada-rada tingkahnya
W: Wanita ngejauhin semua
A: Au ah, gelap!
D: …. Nama orang yang disukanya
I: Ih, rahasia, dong
S: Sudah dulu, ya
Sumber gambar:
1) http://www.traveljaya.com/2018/07/kedai-bakmi-janda-di-surabaya-bikin.html
2) https://www.youtube.com/watch?v=UvaLWfLRiQc
3) https://today.line.me/id/pc/article/Kocak+5+Singkatan+Ini+Pasti+Pernah+Kamu+Tulis+di+Buku+Diary+Teman-Bzea6N
4) https://www.wisatabdg.com/2019/05/yuk-mengenal-akronim-makanan-dan-benda.html
5) https://www.liputan6.com/citizen6/read/3647861/cara-membuat-perkedel-kentang-yang-enak-mudah-dan-sederhana
6) https://tfamanasek.com/wisata-kuliner-jajanan-pasar-legendaris-hanya-ada-di-indonesia/
7) http://www.sajianbunda.com/resep-es-doger-enak-sederhana-khas-bandung/
8) https://doyanresep.com/resep-ketoprak/
9) https://alampriangan.com/cuanki-bandung-paling-enak/cuanki-bandung/
3) https://today.line.me/id/pc/article/Kocak+5+Singkatan+Ini+Pasti+Pernah+Kamu+Tulis+di+Buku+Diary+Teman-Bzea6N
4) https://www.wisatabdg.com/2019/05/yuk-mengenal-akronim-makanan-dan-benda.html
5) https://www.liputan6.com/citizen6/read/3647861/cara-membuat-perkedel-kentang-yang-enak-mudah-dan-sederhana
6) https://tfamanasek.com/wisata-kuliner-jajanan-pasar-legendaris-hanya-ada-di-indonesia/
7) http://www.sajianbunda.com/resep-es-doger-enak-sederhana-khas-bandung/
8) https://doyanresep.com/resep-ketoprak/
9) https://alampriangan.com/cuanki-bandung-paling-enak/cuanki-bandung/
Kalo di tempat lain selain di daerah Sunda, apakah ada nama makanan yang disingkat juga?
BalasHapusSaya nggak tahu pasti dan nggak banyak tahu juga perihal nama makanan daerah lain. Kalo di kota saya, pontianak, ada yang namanya siobi (siomay babi), cuma saya nggak bisa memastikan apakah penamaannya terpengaruh sundanisasi atau tidak. kalo makanan ala-ala akronim kekinian yang janda, tante, setan gitu ya banyak.
HapusKadang saya masih enggak bisa menerima contoh akronim kayak IPA dan IKIP. Terasa rancu aja gitu. Menurut saya itu termasuk singkatan karena kan disingkatnya huruf depannya doang, enggak dijadikan satu kata--terlepas itu bisa dibaca sebagaimana kata. Terus gimana dong nasib IPS? Bolehkah saya baca kayak bilang "ups"? IPA dan IPS sejenis gitu, tapi nasib penggolongan akronim atau singkatannya jadi berbeda semata-mata enggak bisa dibaca kayak kata.
BalasHapusLagian kan di kamus juga penjelasannya kp, bukan akr. Hadah, mengherankan sekali definisi yang bisa dibaca seperti kata itu merupakan akronim sekalipun disingkatnya per huruf dan kapital semua.
SIM, ABRI, NIP, NIM, HUT, BIN akronim juga jadinya?
Oh, sakaw tuh akronim anak gaul gitu, ya? Udah jadi akronim kan itu, eh ada yang iseng bikin akronim lagi kayak sange: sakaw nge....
Astagfirullah, udah azan Subuh.
Kalo saya taunya sange tuh aSA ("berasa", bahasa sunda) NGE**. lah beda lagi ternyata haha
HapusBukan terasa lagi, Yog, emang sudah rancu. ada yang menyebut IKIP sebagai kata, dan ada juga yang menyebutnya per huruf. Saya dulu termasuk orang yang nggak suka menggunakan singkatan apalagi akronim, dsb, yth, dll, dkk, nggak pernah saya pakai di tugas sekolah.
HapusNamun, karena penggunaannya mulai digalakkan, ya, ngikut aja, apalagi sekarang emang lagi bahas ini. Padahal sekitaran tahun 2010, akronim atau singkatan ini pernah ditentang media dan bebrapa pegiat bahasa.
Kembali ke IPA IPS IKIP tadi, kalo melihat PUEBI daring, dan threadnya ivan lanin, akronim jenis itu pengelompokannya subjektif (tergantung anggapan pelafalan wajar masing-masing). Kamu merasa wajar nggak nyebut kata "ips"? kalo nggak, ya, kelompokan ke singkatan. sesubjektif itu. nggak tahu kalo nanti ada perkembangan atau perlakuan khusus seperti partikel "pun".
Iya, BIN, ABRI, itu masuk ke akronim, karena di keseharian, orang melafalkannya secara wajar dalam satu kata. Kalo bingung, untuk saat ini, ikuti PUEBI saja.
nggak, sakau bukan akronim. itu kata sifat. remaja saja yang membuatnya seolah akronim untuk keren-kerenan. dan tahu kan kalo remaja mau keren itu selalu tidak peduli aturan.
anak gaul bekasi aja pake istilah "Korpe" yang artinya KORban PEhape. Nggak ngasal apalagi coba.
Emang ga ada kerjaan banget orang Sunda (haha saya salahsatunya).
BalasHapusSoal pola akronim, atau lebih luasnya abreviasi, dalam bahasa Sunda bahkan udah banyak kajian ilmiahnya, kebanyakan dari linguistik. Saya pikir ini sah-sah, justru saya dukung, ini semacam kekayaan (dan mungkin keunikan) berbahasa.
Yg jadi masalah kan ketika ingin mencari asal usul kata sebenarnya, dan ini tampaknya sumber masalahnya dari pencatatan sejarah. Pertama, dari pengarsipan awalnya (mis. sejarah awal cuanki atau es doger itu). Kedua, bagaimana mempopulerkan narasi sejarah tadi agar banyak yg baca/tahu.
Pemendekan itu disebutnya abreviasi, ya, ternyata. Nggak pernah tahu saya istilah ini. Hanupis, Kang Arip. Bisa nambah keyword buat nyari referensi lanjutan.
HapusMenurut saya pribadi juga nggak ada yang salah dengan hal tersebut, selama pemendekannya diketahui banyak orang dan diarsipkan. sehingga ada sumber lisan dan tulisan yang bisa diakses untuk keperluan ke depannya.
Fokus utama saya di sini adalah tentang jangan asal mengakronimkan suatu kata (terkait kuliner tradisional), lebih baik ditelusuri dulu lebih jauh. Jika masih tidak ditemukan, gunakan saja nama biasanya. nggak perlu dipanjang-panjangin sebagaimana kuliner khas sunda (yang sumber lisannya masih banyak, semacam cilok cireng yang banyak sekali tahu makna penamaannya). begitu.
kalo tentang penyebaran informasi, jika memang asal mulanya tepat, ada sumber yang kuat, bisa mengikuti pola penyebaran informasi palsu sebelumnya (Seperti informasi nama perkedel yang katanya persatuan kentang telur). media berita dan sosial berperan besar di sini. asal ada satu sumber terpercaya, mereka bakal rebutan merevisi postingan sebelumnya.
karena kalo kita mengetikkan "singkatan kuliner" di gugel, itu yang membahas banyak sekali, sayangnya, mereka semua tak mau serius mengulasnya seperti berita politik lainnya.
Visioner sekali sampai memikirkan efek buruk yang bisa ditimbulkam dari sebuah singkatan dan akronim suatu makanan. Saya mikirnya ya cuma sebatas: "mungkin karena ini memang buat strategi marketing mereka. Jadi, bisa menarik target market buat mencoba kuliner yang mereka jual"——gitu doang. Lhaini sampai kalau-kalau kuliner kita diakui sama negara lain segala. Mantap benar si Haw!
BalasHapusCipuk sama seblak, beda, Haw? Saya baru denger ini ada jajanan namanya cipuk. Taunya yang bahan dasar kerupuk ya, seblak doang.
Kalo makanannya makanan kekikinian, yang olahan atau modifikasi baru, ya bebas. gamasalah. toh itu malah nambah keunikah dan ragam juga.
Hapusjadi masalah itu kalo targetnya makanan tradisional, kita tau sendiri kan, jajanan tradisional mulai ditinggalkan. kalo sampai hilang, eh tau2 viral di negara lain, kan, bingung sendiri kita.
cipuk beda lagi, Wis. itu kayak adonan aci dicampur kerupuk dulu, baru digoreng atau rebus lagi. mudahnya, gugling aja buat gambaran jelasnya.
Langsung keingetan sama tulisan tentang mitos yang sama "ngasal"-nya pada beberapa kasus.
BalasHapusKetika membaca "D", hanya ada satu nama yang muncul di kepala. Hm, menarik. Btw, saya siap membiayai kelanjutan penelitian ini agar semua pertanyaan bisa terjawab dan saya bisa tertidur tenang selama sisa hidup saya.
Mitos lebih parah lagi, bang, apalagi saat ini orang menganggap mitos = kebohongan, padahal mitos itu sendiri adalh sesuatu yg dipercaya tapi belum dapat membuktikan. jadi sejak penempatannya di kepala saja sudah ngasal. spill bang mitos ngasalnya, biar bisa diperbaiki dan diperdalami lagi terkait kejanggalannya.
Hapusdiseriusi dong, padahal itu ngikut apa yg tertulis di diary saja tanpa ada perencanaan sebelumnya.
saran, kalo mau tidur nyenyak, kayaknya lebih logis kalo beli obat tidur deh bang.
Nggak terima. Karna akronim pisuhan itu sendiri dipengaruhi kedua hal tadi.
BalasHapusBtw, itu mesen ke mbak pelayan warungnya gimana?
"Mau pesen apa?"
"MATAMU ASU!"
o_o
Ternyata saya disinformasi sejak dini tentang "tilang". Dulu nanya bapak saya malah dikasih taunya "Tindakan Langsung" dan percaya sampe sekarang tanpa berniat cari tau yang benernya.
BalasHapusMembaca ini khazanah akronim permakanan saya jadi bertambah. Biasanya saya suka baca webtoon Jajan Squad dimana mereka membahas soal makanan nasional dan membahas asal mulanya. Tapi gara-gara es doger, saya jadi nyari ternyata di webtoon itu belom dibahas dan cuma diselipkan informasi tentang akronim yang udah kamu sebutkan, "es dorong gerobak". Jadi mungkin kamu harus penelitian lagi, Haw.
Saya tunggu hasilnya, ya.
Salam Surga (Nutrisari Susu Mangga) yang biasa dipesan di warmindo wkwk
Ornag beprikir itu "tindakan langsung" karena yg pada kena tilang, dimintai duit saat itu juga. semestinya kan dikasi surat bukti dulu.
Hapusanjay, saya baru tahu kalo ada komik yang ngebahas asal mula makanan nusantara, sepertinya saya kudu membaca itu juga, lumayan nambah informasi baru buat menguatkan opini nanti jika ada sanggahan. itu salah satu kekhawatiran saya, jika yg dikenal mengenalkan asal mula saja turut nyebarin yg belum bener, lama-lama sejarahnya bakal salah. yang perlu ditinjau ttg es doger, kapan gerobak ditemukan dan lazim digunakan di indonesia? dan apakah es doger tersebut kemunculannya lebih awal atau lebih telat dari gerobaknya?
saya serahkan kepada generasi berikutnya saja buat neliti.