Pandemi di Indonesia mulai terjadi sekitar awal bulan Maret, yang artinya sudah terjadi sejak tiga bulan lalu. Selama menjalani waktu tiga bulan tersebut, kita juga sudah melewati sebulan penuh puasa, hari raya, ada yang mudik juga, serta banyak waktu di depan layar untuk mengisi kegiatan tiap harinya.
Di tahun sebelumnya, saat menjalankan ibadah puasa, kita merasa waktu berjalan sangat lambat. Magrib terasa lama, hari raya juga lama datangnya. Namun, di tahun ini, kedua hal tadi malah datang sangat cepat. Tahu-tahu sudah Magrib. Tahu-tahu hari raya sudah lewat tiga mingguan.
1) Waktu berlalu cepat di masa pandemi |
Jika dalam satu hari waktu itu selalu sama, kenapa di masa pandemi ini, kita merasa waktu begitu cepat berlalunya? Apa yang membuatnya berbeda? Bukankah kalo kita melihat benda yang diam itu justru terasanya makin lama? Ini kita diam di rumah saja berbulan-bulan, loh.
Kita tinjau dulu kegiatan kita selama masa pandemi ini
Mungkin kalian pikir ini masalah relativitas, yang mana kalo kita mengerjakan hal yang disenangi, waktu akan terasa cepat. Begitu pun sebaliknya. Sayangnya itu kurang tepat, nggak ada yang merasakan kesenangan di masa pandemi seperti ini. Kita bangun di pagi hari dalam keadaan bosan, nggak semangat menjalani hari. Meski demikian, waktu tetap saja terasa cepat berlalu. Tahu-tahu sudah malam lagi saja.
Relativitas memang ada, makanya timbul fenomena perbedaan waktu tadi meski satu hari sama-sama 24 jam. Akan tetapi, hubungannya bukan dengan keadaan hati yang lagi senang atau kesal. Melainkan faktor lain yang membuat kita “tertinggal” selama arus waktu harian berjalan.
Untuk mencari tahu hal tersebut, makanya kita harus meninjau kegiatan harian kita secara umum. Apa saja kegiatan yang kita lakukan selama masa pandemi ini? Awal-awal, sih, meeting di Zoom, belajar masak, beberes kamar, dan bercocok tanam. Terus bosan, rebahan, main tiktok (media sosial), rebahan, nonton film sambil rebahan, rebahan, rebahan, rebahan dan rebahan. Begitu juga, nggak secara umumnya?
2) Rebahan terus selama pandemi |
Kenapa kita suka sekali rebahan?
Karena enak. Tentu saja. Santai tanpa perlu mengeluarkan banyak energi, apalagi memang tidak bisa ke mana-mana. Nggak perlu mengatur jadwal berangkat, apalagi berjalan lebih cepat biar nggak terlambat, atau memeras otak memikirkan penyelesaian tugas/kerjaan. Mengeluarkan tenaga hanya membuat tubuh kita kelelahan saja.
Mengacu pada hal tersebut, bisa dikatakan bahwa selama pandemi ini kita lebih banyak diamnya (tidak produktif). Nah, sekarang, apakah ada pengaruhnya kondisi diam terhadap kecepatan waktu?
Einstein pernah bilang, semakin lambat kita bergerak, maka waktu akan berlalu semakin cepat. Sebaliknya, semakin cepat kita bergerak, maka waktu akan terasa lama (lambat).
Secara visualnya, kita bisa mengingat adegan film X-Men saat Quicksilver bergerak sangat cepat ketika menyelamatkan murid-murid di Xavier’s School dari ledakan. Saking cepatnya, waktu dan gerakan benda lain dalam pandangan dia, jadi terasa sangat lambat. Begitu kira-kira maksud ucapan Einstein tadi.
3) Waktu jadi lambat jika kita bisa bergerak sangat cepat |
Lalu, apa kaitannya teori Einstein dan kelembaman tadi terhadap enaknya rebahan yang bikin waktu cepat berlalu?
Saat kita terperangkap dengan keadaan tidak produktif (rebahan), berarti kita sedang dalam keadaan diam. Bagi benda yang diam, waktu akan terasa cepat berlalu. Makanya saat sudah mau berganti hari, kita kadang kaget, “Kok, sudah malam lagi saja? Padahal seharian ini belum mengerjakan apa-apa.”
Namun, kalo kita lagi produktif, sudah mulai mengerjakan kerjaan di rumah, kita bakal lebih mudah meningkatkan kecepatan kita dalam pengerjaannya. Sehingga, ketika pekerjaan tersebut telah kita selesaikan dalam waktu lebih cepat, kita bakal ngerasa waktu jadi melambat. “Eh, masih sore rupanya? Kirain sudah malam.”
Itulah sebabnya, kenapa di masa pandemi ini, yang kegiatannya banyak diisi dengan rebahan (cenderung tidak bergerak), waktu jadi terasa lebih cepat berlalunya. Rada belibet ini saya ngetiknya, moga bisa dipahami, yak.
Sumber gambar:
1) https://pixabay.com/id/photos/gadis-waktu-tekanan-waktu-khawatir-2786277/
2) https://www.indozone.id/health/lNsy6D/waspada-dampak-psikologis-ini-bisa-mengintai-para-kaum-rebahan
3) https://www.techradar.com/uk/news/world-of-tech/the-origins-of-the-quicksilver-kitchen-scene-in-x-men-days-of-future-past-1269094
Wah wah wah sungguh mencerahkan ini. Jadi gara2 orang sering rebahan dia sering diam jadi waktu terasa cepat. Tapi, kenapa saat menunggu waktu jadi terasa lama?
BalasHapusbukankah saat anda menunggu itu artinya anda datang atau tiba lebih cepat? kalo anda lebih cepat, ya waktunya akan terasa lebih lambat.
Hapus"ih, lama banget ini mulai/datangnya."
seperti naik gunung, kalo tiba di puncak lebih cepat, itu sisa harinya terasa lama banget. tapi, kalo lambat, banyak ngasonya, udah magrib tapi baru sampe pos 1, kan waktu terasa sangat cepat.
Kalo naik gunung jalannya lebih cepat, leyeh-leyehnya bisa lama. Kalo kebanyakan ngaso, waktu istirahatnya baru sebentar udah harus jalan lagi karena harus ngejar waktu.
Hapuseh tapi kenapa wkatu harus dikejar ya?
biar gak ketinggalan~
Hapusya, maksudnya, meski wkatu itu itungan detik menit jamnya tetap segitu, tapi jika kita tidak bergerak, maka kita bisa menyia-nyiakan waktu (dalam artian waktunya udah lewat jauh).
kalo lagi jalan terus, secara teori kita sudah mencapai jarak sekian, dalam waktu sekian.
tapi kalo diam, ngaso, kita hanya mencapai 0 jarak dalam waktu sekian.
perbandingan jarak 0 dan puluhan meter (jika nggak ngaso), itu menandakan, di jam segini kita harusnya udah sampe jarak segini (pos ini). fenomena tidak mencapai jarak yg seharusnya itu kan disebut ketinggalan. karena dalam rumus V=s/t, saat ngaso v = 0, s = 0, yang bergerak terus hanya waktunya. makanya disebut mengejar waktu.
Tapi emang bener sih bulan puasa kemaren cepet banget rasanya. Nunggu buka puasa juga gak kesel. Sahur buka, sahur buka, rebahan.
BalasHapusIya, De. udah kayak bukan lagi puasa. pernah satu waktu kemarin, saya nggak nyiapin bukaan. karna nggak sadar kalo lagi puasa. T.T
HapusNah kayaknya boleh dijelaskan, Kenapa saat puasa kemaren kita gak ngerasa seperti bulan puasa. Karena faktor apa tuh ya?
Hapusnggak perlu nganalisis susah-susah sih ini. karena kita udh punya paten saat puasa itu biasanya seperti apa. dan paten atau kebiasaan itu gak ada di puasa tahun ini.
Hapushaus di jalan sepulang kerja? nggak ada.
tarawihan? nggak ada.
sahur2 meriah dan tadarus nyaring sampe subuh? gak ada juga.
rame main hashtag sembari nunggu buka? nggaka da juga.
ditambah kegiatannya jaid sama persis seperti hari seblumnya (karantina), ya jadi berasa gak ada bedanya.
Betul juga, rasanya terlalu cepat. Perasaaan kemarinan saya baru marah-marah karena banjir, eh tiba-tiba sudah mau pertengahan Juni. Saya ngapain aja dalam satu semester ini? Meskipun statusnya sama masih pegawai lepas yang lebih banyak nganggurnya, tapi sejak Maret sedikit sekali tulisan saya di blog. Beda jauh sama sebelumnya, apalagi tahun lalu. Kali ini buntu. Setiap bulannya cuma berusaha memaksakan diri buat mengisinya dengan hasil modifikasi draf-draf lawas. Mungkin saya mulai paham kenapa kamu banyak tulisan belakangan ini dan terbiasa menulis cepat. Percis analogi mendorong mobil mogoknya. Kalau saya dorongannya enggak diteruskan lagi setelah mobil tersebut bergerak sedikit.
BalasHapusBagian si Quicksilver slow motion itu selalu jadi favorit saya di film X-Men. Khususnya yang menyelamatkan kebakaran. XD
IYa, itu juga berpengaruh. kalo udah diem, atau cuma didorong sekali buat rajin, ya, jaid susah selanjutnya buat nulis lagi. makanya pas udah rajin, dijaga terus buat tetap nulis.
Hapuswlo niat awal saya rada rajin nulis biar ada bahan bacaan aja sih waktu lagi "di rumah aja", berita isinya bikin kesal semua.
nonton ulang x-men cuma mau liat bagian itu kalo saya mah.
Memang bagian yang bagus itu film itu yang cuma adegan itu, sisanya meeeh. Udah gitu kan adegan itu juga udah muncul di trailer, jadi pas nonton filmnya jadi kayak, "Anjir, tau gitu nonton trailernya aja, enggak usah nonton full filmnya."
Hapusbener sih ini. padahal yang First Class udah keren menurut saya. eh, di Day Future Past, awal munculnya quicksilver juga itungannya lumayan. ngebantu reset x-men 3 yg "apaan" juga. sayang, apocalypse dan dark phoenix menghancurkan lebih hancur hancur lagi.
HapusNonton Dark Phoenix pengalamannya sama kayak nonton Justice League; kayak gak habis nonton apa-apa.
Hapussaya berasa nonton sih, bang. cuma kesel, harusnya gausah nonton saja.
HapusBaru nyadar bulan Juni ini tuh berarti kita udah di tengah tahun 2020. Selama pandemi ini jam saya bukan lagi dari 1 sampe 12, dan ga kerasa ada siang dan malam, untuk ngitung waktu pake parameter berapa episode anime per hari yg saya tandaskan. 😝😝
BalasHapuskang Arip ditanyain jam berapa ama ibundanya, dijawab,
Hapus"1 season lewat 2 episode, Bun."
Meski penjabarannya cukup logis, saya cukup yakin waktu bergerak dengan cepat karena kita mulai kebingungan. Maksudnya, ketika sedang nonton film, eh tau-tau bosan. Bingung mau ngapain dan akhirnya cuma rebahan. Balik lagi sih, rebahan juga. Tapi kalo dipikir-pikir, saya belum nemu jurnal yang ngulik kenapa rebahan jadi kegiatan paling populer selain karena mudah dan ngga banyak tenaga. Hormon dopamin, tidak mungkin sih.
BalasHapusrelativitas waktu~
Hapuskalo masalah kenapa rebahan jaid kegiatan populer, nggak bakal ada yg nulis jurnalnya sih, buat apaan. itu ranahnya statistik. bisa dilihat dari updatean media sosial kok, malah ada yg survey kegiatan harian selama pandemi. dari updatean dan jawaban survey "iseng" itu, bisa diketahui kalo rebahan adalah kegiatan paling ramai.
kenapa rebahan enak? yg utama, karena gak ada keluar tenaga, bisa sambil nikmati suasana/tontonan. kalo mau alasan lain, tentu karna nggak ada kegiatan lain yg bisa dikerjakan. apalagi jika tinggalnya di kosan yg ukuran kamarnya hanya 3x3.5 meter.
Ohiya yah, masih ada tingkatan survey untuk liat statistik generalnya. Tapi memang sih, kata temanku yang ngekos juga emang ngga ada kegiatan lain seenak rebahan. Kalo udah pewe, mau makan aja mesti mikir dua kali kare
HapusTadi pas baca mau nanya, pas abis baca jadi lupa mau nanya apa. Kelakuan daya ingat ini emang sungguh ajaib kadang-kadang.
BalasHapussaya tungguin deh bang. silakan baca ulang...
HapusOh iya, bukannya penjelasan kamu itu pada akhirnya balik ke relativitas itu sendiri ya? Apa saya yang salah nangkep?
Hapusemang lagi bahas relativitas, sih. bedanya hanya titik acuan atau bisa juga titik pengamat. di paragraf awal, saya mengatakan relativitas kurang tepat tersebut objeknya adalah dugaan "hal yang bikin senang".
Hapuspadahal, relativitas yg berlaku itu lebih ke sifat subjeknya (diam atau bergerak). sebab, selama ini kan relativitas malah lebih diartikan ke "kalo senang, jadi cepat. kalo benci, jadi terasa lama", padahal itu pemisalan doang, malah dianggap teori utama di relativitas. sedikit meluruskan saja sih itungannya.
btw, kalo mau mendengar teori saya waktu SMA, mungkin juga udh banyak yg bilang, bahwa relativitas itu sifatnya juga relative. kadang bisa mudah dipahami, kadang gak paham sama sekali. makanya di akhir artikel saya kayak minta dimaklumi duluan kalo penjelasannya susah dipahami dan belibet. xD
Terjawab sudah kenapa waktu terasa begitu cepat buat saya; banyak rebahan alias pengangguran.
BalasHapussabar bang. nunggu banyak karyawan mati dulu.
Hapus