Assalamu’alaikum…
Kalo dukun bisa ngirim paku ke perut targetnya, ini bisa menjadi solusi bagus mengatasi kesulitan konsumsi saat bepergian atau mendaki gunung. Tinggal minta dukun buat ngirim nasi goreng ke perut orang yang lagi nanjak. Enak. Bawaan ringan, konsumsi terjamin. Begitu dulu obrolan yang saya ada-adakan saat belajar bikin cerita teenlit. Oke, sekarang saya mau bercerita tentang dukun.
Kalian pernah tidak bersinggungan dengan dunia perdukunan? Mungkin sudah nggak. Walo nggak signifikan, kemajuan tingkat pendidikan sudah membantu menyadarkan banyak orang bahwa praktik perdukunan merupakan akal-akalan saja. Ada orang yang sedang mengalami musibah, bingung dan ketakukan. Bukankah itu menjadi mangsa empuk untuk diperdaya?
Sampai saat ini, saya masih menemukan orang yang kalo ada apa-apa langsung mengajak atau minta antar ke dukun. Mau kaya, ke dukun. Hapenya hilang, ke dukun. Rumah kemalingan, ke dukun. Sakit yang bikin lemas, ke dukun.
Awalnya selalu saya sarankan ke pihak profesional terkait, ya, sakit ke puskesmas atau ke dokter. Kalo kehilangan, ya, ke polisi. Hanya saja, saat mengalami sendiri waktu kemalingan, emang nggak usah ke polisi saja, sih, kalo nggak punya keluarga polisi. Sia-sia~
Kenapa kalo kehilangan orang pergi ke dukun, dah?
Saya juga nggak tahu. Kalo disuruh menerka-nerka, ya, yang pergi ke dukun memang orang yang sedang mengalami musibah, panik dan ruwet. Kemalingan itu misalnya. Saat pergi melapor ke kantor polisi, sering sekali malah dibikin lebih puyeng. Melapor biar ada harapan bisa kembali, eh, malah ditekan lahir batin.
Saya pernah kehilangan sepeda motor dulu, saat melapor malah saya dicerca pertanyaan yang menuduh saya malingnya. Ngapain saya mau mencuri motor saya sendiri? Mungkin karena ngalami seperti yang saya alami, makanya dukun jadi pilihan lebih baik.
Sebab, saat datang ke dukun, mereka menyambut dan menghidangkan yang baik-baik. Walo sama-sama nggak ada hasilnya, tapi di dukun mereka lebih ditenangkan dan diberi nasihat pula.
Beneran, saat ikut menemani keluarga yang ke dukun karena rumahnya kemalingan, ama dukunnya dikasih petuah bahwa rezeki itu ada yang mengatur. Kalimat nasihatnya benar, sih, cuma praktik bahwa para dukun ini bisa menangani itu yang jadi masalahnya.
Dukun sering berbohong dan dukun kebanyakan laki-laki
Iya, kan? Kenapa dukun hampir semuanya laki-laki, ya? Karena kalo perempuan namanya du-chan. Astaghfirullah, becandaan bapak-bapak wibu sekali. Saya juga nggak tahu kenapa, mungkin karena hierarki sosial, yang menganggap lelaki lebih berkuasa. Sehingga dukun laki-laki lebih mudah dipercaya bahwa dia hebat. Mungkin.
Apalagi katanya lelaki itu lebih mengutamakan logika. Yang artinya, dukun laki-laki lebih bisa beromong besar dalam meyakinkan. Mungkin benar, sebab ibu saya beberapa kali ke dukun dan semuanya laki-laki. Dukun rekomendasi dari tetangga atau orang yang nggak sengaja ketemu di pasar, yang bilang bahwa ada di dukun di kota ini dan kota itu yang hebat.
Sejak kecil, saya sering sekali diajak pergi ke dukun. Walo bukan kami yang mengalami musibah, tapi ibu saya beberapa kali dimintai tolong mendatangi dukun oleh keluarga jauh untuk dapat suatu syarat-syarat yang bisa membebaskan dari musibah yang dialami.
Beberapa kali saya menemukan kebohongannya
Ini terjadi ketika saya sudah mulai bisa berpikir lebih baik dan sudah remaja, ya, seusia anak SMA, lah. Waktu itu ada tetangga yang sedang sakit nggak sembuh-sembuh sampai menggerakkan mulutnya pun kesusahan. Diajaklah kami menemani karena tempat dukunnya jauh.
Singkat cerita, dukunnya menjelaskan bahwa sakitnya tetangga saya itu karena diakibatkan oleh orang lain yang iri dengannya. Pelakunya orang dekat. Dikirim makhluk halus yang selalu menyemburkan penyakit. Makhluk halusnya saat itu menunggui pohon dekat rumahnya.
Isenglah saya nanya, pohon jambu apa pohon kersen? Sebab kedua pohon itu jarang ada anak kecil yang main di bawahnya atau memanjatinya, imbuh saya. Dijawabnya pohon jambu. Padahal jelas-jelas pohon yang ada di halaman rumah tetangga saya hanya pohon mangga dan pohon kelor.
Walo yang ikut datang ke dukun tersebut sama-sama sadar bahwa di tempat tentangga yang sakit nggak ada pohon jambu, tetap saja mereka mempercayai dukun tersebut. Membayar seratus ribu untuk dua botol air mineral yang harus diminum rutin dan sesekali dijadikan pencuci muka. Malahan, ibu saya sempat memarahi saya karena terlihat seolah menentang.
Dari situ saya mulai membenci ibu saya sendiri
Kegiatan datang ke dukun tersebut terus saja berlangsung. Pernah dalam dua minggu, ibu saya mendatangi tiga dukun berbeda karena dirasa nggak cocok dan nggak manjur. Kalo mau berpikir, kan, bisa menyimpulkan bahwa emang praktik perdukunan itu nggak bener.
Namun, ketika saya memprotes hal tersebut, mereka yang percaya dengan dukun selalu mengeluarkan dalihnya. Dukun itu jodoh-jodohan, cocok-cocokan, walo dukunnya nggak terkenal, kalo cocok, masalah atau penyakitmu bisa langsung sembuh.
Juga, dukun itu, kan, bukan Tuhan. Kalo nggak selesai masalah yang dihadapi, berarti, kan, ama Tuhan emang sengaja dikasih masalahnya lebih lama. Astagaaaa… Pokoknya saya sampai nggak bisa berkata-kata lagi kalo mereka sudah membahas perdukunan.
Ketika saya merantau ke ibukota, ibu saya yang sedang sakit nggak henti-hentinya mencari dukun-dukun untuk mengobati sakitnya. Uang kiriman yang dimaksudkan buat berobat, dihabiskan untuk membeli air putih berbotol-botol dari dukun. Saya semakin membencinya.
Walo saya memberanikan diri mengambil jalan durhaka dengan memarahi ibu saya dengan ucapan kasar dan suara tinggi, tetap saja, ibu saya teguh dengan pendiriannya. Belum ketemu ama dukun yang cocok saja. Lalu, kegiatan mencari dukun tersebut terus berlanjut.
Sampai akhirnya ibu saya sudah nggak begitu kuat jalan jauh dan saya mau nggak mau harus pulang ke rumah dan merawatnya. Yang dulu hanya bisa memarahinya melalui telepon, menjadi bisa memarahinya secara langsung.
Walo demikian, masih saja dia meminta tetangga buat menjemput dukun untuk datang ke rumah. Tentu saja saya akan pergi sementara, karena kalo saya ikutan menyambut di rumah, bisa-bisa kelepasan emosi saya.
Bingung banget saya, kok, ya, bisa-bisanya punya ibu yang begitu percaya ama dukun
Padahal selama ini nggak terbukti ada hasil setelah dari dukunnya. Orang lain yang datang ke dukunnya juga mengalami hal yang sama, nggak ada perubahan. Tetap saja sakit. Hal apa gitu yang memengaruhinya?
Hingga suatu hari, sekitar tiga tahun lalu, ada temannya ibu saya yang datang menjenguk saat sakit dulu itu. Ketika melihat saya ada di rumah, dia kaget. Sedikit memuji dan menanyakan kabar juga kapan datangnya. Lalu sambil menoleh kembali ke ibu saya, dia mencoba memastikan,
“Ini anak kedua yang dulu nangis minta baju perempuan dan hampir mati itu, ya?”
Saya ingat perihal baju perempuan yang dimaksud. Denim celana kodok itu, loh. Nggak tahu juga nama pastinya apa, yang jelas, saya memang pernah nangis minta dibelikan pakaian itu. Karena keren saja melihat Sahrul Gunawan dan Alfandy Trio Kwek-Kwek juga memakainya dengan daleman baju kaus warna putih. Walo di daerah saya yang memakainya hanya anak perempuan.
Hanya saja, perihal hampir mati ini, saya nggak merasa pernah mengalami. Kalo yang beneran mati waktu kecil, ada, adik saya. Karena mau memastikan, bertanyalah saya. Diceritakanlah ama beliau.
Waktu saya usia satu atau dua tahun, penyakit pada anak-anak lagi ganas-ganasnya. Banyak yang meninggal juga yang seusia saya waktu itu. Anaknya teman ibu saya ini juga kena, saya juga. Cuma sialnya, sakit yang saya alami lebih parah. Sudah menunjukkan gejala seperti anak lain yang sudah meninggal.
Saya katanya sudah dibawa ke rumah sakit, ke pak mantri, kata mereka saya sudah di kondisi paling kritis, sudah tidak bisa diselamatkan. Lalu, ada orang di kendaraan umum yang mereka temui saat pulang dari rumah sakit yang memberi rekomendasi untuk dibawa ke dukun di suatu kecamatan.
Dibawalah saya ke sana, temannya ibu saya itu juga ikut menemani. Dengan pijatan, semburan dan syarat-syarat tertentu, setelah beberapa hari saya akhirnya sembuh total. Saat itu, ibu saya katanya nangis memeluk saya nggak berhenti sampai beberapa jam. Terus nangis sambil memeluk saya lagi hingga beberapa hari setelahnya.
Sumber gambar:
1) https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-jangan-percaya-kepada-dukun-dan-peramal-NvunV
2) https://www.viva.co.id/berita/dunia/1520714-5-negara-yang-paling-percaya-dukun-di-dunia-ada-indonesia
3) https://www.youtube.com/watch?v=C-qADoPbMSg
4) https://www.bukalapak.com/p/fashion-wanita/jumpsuit/28wheah-jual-h-overall-chika-denim-biru-tua-baju-jumpsuit-wanita-baju-kodok-garis-garis-terbaru-harga-murah-best-seller-populer-model-korea
Endingnya agak membagongkan, tetapi tetap masih skeptis soal dukun atau orang pintar yang bukan sarjana.
BalasHapusWell, saya enggak percaya dukun, tapi lebih gak percaya sama polisi. Jadi kalau besok-besok saya kehilangan sesuatu dan pilihannya hanya dua itu, kayaknya saya akan memilih buat iklas saja.
Saya waktu kecil juga pernah berurusan sama dukun karena diajak oleh keluarga, entah untuk keperluan apa. Makin gede, logika makin jalan jadi makin gak percaya. Tapi keluarga saya sampai sekarang masih percaya, padahal dari dulu saya lihat kayaknya enggak pernah ada hasil berurusan sama dukun-dukun ini. Lama gak kontakan dengan keluarga, sekalinya kontakan kalimat pertama yang saya dengar dari kakak saya adalah: tau gak, kemarin ibu habis dari dukun.
Saya langsung kikuk sejak detik pertama, padahal niatnya mau tau kabar dan melepas rindu.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, nyambung sama tulisan kamu, kayaknya kepercayaan akan dukun itu sudah tertanam sejak lama sehingga susah untuk melepaskannya. Mirip-mirip doktrin agama dan militer yang ditanamkan terus-terusan sampai akhirnya rela melakukan apa saja atas nama agama dan berpegang teguh pada prinsip militer (ini gak cuma terjadi di Indonesia saja kalau sepanjang yang saya lihat). Jadi, untuk menghapuskan hal ini di era modern, kayaknya masih butuh waktu yang panjang.
Anyway, saya enggak begitu suka jejepangan, jadi saya harus baca joke wibu itu beberapa kali baru ngerti.
Tentu saja. keberhasilan sekali, tidak bisa menghapuskan kegagalan berkali-kali yang udah dibuktikan oleh banyak orang. hanya saja, saya akan bingung kalo dijawab, "kamu dulu gak jadi mati karena ada bantuan dukun."
Hapusini bakal lucu, sih, kalo saya bales. "...awalnya saya nggak ercaya, tapi setelah mengalaminya sendiri, saya berpikir ulang untuk nggak percaya."
kayaknya kita mempunyai permasalahan yang sama dalam keluarga, dah. pantes beberapa kali juga memiliki pemikiran dan persepsi yang sama. kebentuk ama problem yang mirip-mirip. xD
..apalagi kalo mau menghapus dari daerha yang pelosok atau pedesaan, bang. susah banget. di satu kampung saja di sini bisa ada lebih dari 10 dukun. ditambah pendidikan yang nggak terlihat berkembang sama sekali, masih banyak yang berpikir cukup sekolah sampai tamat SD. surem. T.T
awalnya udah saya siapin gambar buat memperjelas, bang, gambar konan detective conan yang ada teks manggil ran-chan dan conan-kun. gatau kenapa gak jadi dimasukin, kayak berkurang aja kalo mesti diperjelas. tapi kalo gak diperjelas, jadi gak jelas. tau ah.